Yusuf menyebut aksi boikot menjadi krusial bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk menyampaikan pesan-pesan boikot berbasis nilai-nilai universal. Hal itu agar boikot kepada Israel ini menjadi gerakan global, tidak bernuansa agama atau wilayah tertentu saja. Sedangkan biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi.
"Maka menjadi penting dalam jangka pendek berfokus pada beberapa produk prioritas yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Saat yang sama, harus ada upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot. Adapun langkah-langkah perintis yang konsisten, dibutuhkan pengelola boikot yang bekerja secara persisten," ucapnya.
Sebelumnya, muncul media sosial tagar #BDSMovement yang merupakan gerakan untuk memboikot, melakukan divestasi, dan memberikan sanksi kepada Israel. Adapun upaya ini membuat para pengguna akun menyebut merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel dan menyerukan boikot, salah satu yang ramai menjadi sasaran yakni McDonald's setelah sebuah lokasi di Israel menawarkan makanan gratis militer.
Beberapa di antaranya memboikot Starbucks setelah perusahaan tersebut menggugat serikat pekerjanya pada bulan ini atas akun media sosial serikat pekerja, yang mengunggah dukungan warga Palestina. Dikutip dari VOX, BDS merupakan gerakan protes nonkekerasan global.
Mereka berupaya menggunakan boikot ekonomi dan budaya terhadap Israel, divestasi keuangan dari negara, dan sanksi pemerintah untuk menekan pemerintah Israel agar mematuhi hukum internasional dan mengakhiri kebijakan kontroversialnya terhadap Palestina.