EKBIS.CO, INDRAMAYU -- Produksi sampah tak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaannya dianggap sebagai beban bagi manusia maupun lingkungan. Namun dengan dipilah dan diolah, sampah bisa memberikan nilai ekonomis, termasuk menjadi sumber energi terbarukan. Hal itu seperti yang terlihat di Taman Tjimanoek Indramayu.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Namun, Suranto (55 tahun) sudah sibuk di kios bakso miliknya yang ada di Pusat Kuliner Cimanuk, Taman Tjimanoek Indramayu, Sabtu (28/10/2023).
Sebuah pemantik api bergagang hijau sudah ada dalam genggaman tangannya. Pemantik itu dinyalakannya di atas sebuah kompor gas satu tungku. Dalam sekejap, keluar api berwarna biru jernih dari kompor tersebut.
Suranto pun memindahkan panci besar berisi kuah bakso untuk dihangatkan di atas kompor itu. Sebuah selang pipa berwarna kuning tua terpasang di kompor tersebut. Selang itu menghubungkan kompor dengan gas yang bersumber dari reaktor biodigester.
Sejak September 2023, Suranto menggunakan gas dari biodigester. Alat pengolah sampah sisa makanan atau material lanjutan organik (MLO) menjadi gas metana itu terpasang di Pusat Kuliner Cimanuk pada bulan yang sama. Jaraknya hanya selemparan batu dari deretan kios pedagang.
Untuk bisa menikmati gas tersebut, Suranto hanya wajib mengumpulkan sampah organik sisa makanan dari kiosnya, seperti sisa sayuran, mie, maupun kuah bakso. Sampah itu dipilahnya dari keseluruhan sampah yang dihasilkan di warungnya. Ada sekitar sepuluh kilogram sampah organik yang dikumpulkannya setiap hari.
Sampah organik itu selanjutnya akan diambil oleh petugas operator biodigester dan dikumpulkan di dalam drum penampungan. Sampah organik dari kios milik Suranto, dan dari kios-kios lainnya di Pusat Kuliner Cimanuk, kemudian dimasukkan kedalam bioreaktor.
Di dalam bioreaktor, telah terdapat bakteri pengurai yang akan menguraikan sampah-sampah organik tersebut. Hasil penguraian bakteri itulah yang akan menghasilkan gas metana, yang kemudian ditampung oleh balon gas yang berada diatas bioreaktor.
Gas metana yang terkumpul di dalam balon penyimpanan kemudian disedot melalui RMC suplai system. Gas tersebut selanjutnya dialirkan melalui jaringan pipa ke kompor milik para pedagang yang ada di Pusat Kuliner Cimanuk.
Para pedagang tak perlu membayar sepeserpun untuk menikmati nyala api berwarna biru di kompor mereka. Gas itupun bisa mereka nikmati setiap hari.
"Gratis, nggak bayar," ujar Suranto, saat ditemui Republika di kios bakso ‘66’ miliknya.
Suranto mengaku, sangat terbantu dengan adanya biodigester di Pusat Kuliner Cimanuk. Pasalnya, dia bisa menghemat uang untuk pembelian gas elpiji.
Biasanya, Suranto membutuhkan satu tabung gas elpiji ukuran tiga kilogram untuk berjualan bakso selama tiga hari di warungnya. Namun sejak adanya biodigester, satu tabung gas elpiji itu baru habis setelah terpakai lima sampai enam hari.
‘’Gas elpiji tetap pakai, tapi jadi lebih hemat karena kita juga pakai gas dari biodigester. Lumayan bisa meringankan beban pengeluaran pembelian gas,’’ ucap Suranto, sambil menunjukkan sebuah kompor gas lain miliknya yang terhubung dengan gas elpiji tiga kilogram.
Selain itu, persoalan sampah sisa penjualan bakso milik Suranto juga teratasi. Biasanya, dia harus membuang sampah itu ke tempat penampungan sampah yang cukup jauh.
Namun kini, sampah cukup dikumpulkan di warungnya untuk kemudian diambil oleh operator biodigester. Bisa juga sampah itu langsung dibuangnya ke drum penampungan biodigester. Karenanya, sampah cepat terbuang dan warung pun lebih bersih tanpa tumpukan sampah.
Suranto juga jadi memahami, sampah yang dihasilkannya selama ini ternyata bisa memberikan manfaat jika dipilah dan diolah. Kini, hanya sampah plastik saja yang masih dibuangnya ke tempat pembuangan sampah.