EKBIS.CO, JAKARTA — Keberadaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang saat ini mendominasi hingga 99 persen pelaku usaha di Indonesia kerap kali dibanggakan karena menjadi tulang punggu perekonomian. Namun, keberadaan UMKM dinilai tak bisa terus diandalkan jika Indonesia mau menjadi negara maju 2045.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan, terdapat pola pikir sebagian masyarakat yang justru menginginkan mempertahankan besarnya peran UMKM di Indonesia untuk pembangunan jangka panjang.
Padahal, menurut dia, yang terpenting bukan seberapa banyak UMKM yang ada, namun sejauh apa UMKM bisa naik kelas menjadi usaha besar yang bisa memberikan dampak lebih besar pula bagi perekonomian negara.
“Apakah memang di long term visi Indonesia kita akan pertahankan peran UMKM untuk makin besar atau makin kecil? Kalau UMKM-nya besar, maka (penyumbang) PDB dari (sektor) mikro akan banyak dan yang besar sedikit,” kata Tauhid dalam diskusi media di Jakarta, akhir pekan ini.
Tauhid lantas mempertanyakan arah pembangunan UMKM di Indonesia ke depan. Apakah memang Indonesia akan tetap bergantung pada usaha skala mikro atau meningkat ke skala besar.
“Kalau PDB (mikro) semakin tinggi, menurut saya kita tidak akan naik kelas, inilah problem utama kita,” kata Tauhid.
Mengutip data Kemenko Perekonomian, sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB saat ini sebesar 61 persen, atau senilai dengan Rp 9.580 triliun.
Kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja pun mendominasi, yakni mencapai sebesar 97 persen dari total tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, Indonesia saat ini memiliki 65,5 juta UMKM yang jumlahnya mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha.
Tauhid lantas membandingkan Indonesia dengan China, di mana sekitar 70 persen UMKM China telah menjalankan usahanya berbasis inovasi digital. Itu pun berdampak pada kinerja ekspor, di mana sekitar 25-30 persen basis ekspor nasional China merupakan produk berteknologi tinggi.
Sementara itu, basis ekspor sumber daya alam hanya di bawah 20 persen. Kondisi berbalik di Indonesia, sebab hampir 40 persen ekspor Indonesia masih disumbang oleh sumber daya alam.
“Intinya, kalau mau menjadi negara maju 2045 kita harus berubah. Tidak mungkin resource base, jualan tempe, jualan pisang goreng lagi atau jualan pecel lele di pinggir jalan lagi. Itu tidak akan terkejar (target negara maju),” katanya.
Oleh karena itu, Tauhid menekankan pada pentingnya upaya industrialisasi di Indonesia. Lewat industrialisasi, pertumbuhan ekonomi akan bisa dikejar ke level 6-7 persen sebagai batu loncatan menuju negara maju.
Direktur Smesco Indonesia Leonard Theosabrata menegaskan, di masa yang akan datang seharusnya bukan lagi membesarkan ekonomi mikro, justru memperbesar struktur ekonomi besar yang saat ini hanya persen.
“Hal ini (perluas ekonomi besar) dianggap tidak populer. Padahal, kalau ekonomi mikronya semakin besar malah menciptakan ekonomi yang hanya subsisten (hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari),” katanya.
Oleh karena itu, kata Leo, ekonomi ultramikro ini yang harus diagregasi oleh ekonomi besar agar dapat merasakan efek berganda.“Future SME itu harus bentuknya dalam ekosistem, bukan lagi bicara secara individu. Tetapi bagaimana upaya kolektif menciptakan ekosistem ekonomi menjadi berdaya,” tegasnya.