Sabtu 23 Dec 2023 12:49 WIB

Melihat Potensi CCS Indonesia yang Gibran Tanya kepada Mahfud

Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan CO2 mencapai 400 hingga 600 gigaton.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi carbon capture storage (penangkapan dan penyimpanan karbon)
Foto: Freepik
Ilustrasi carbon capture storage (penangkapan dan penyimpanan karbon)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Istilah Carbon Capture and Storage (CSS) mencuat dalam debat calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (22/12/2023). Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka menanyakan istilah tersebut kepada cawapres nomor urut 03 Mahfud MD.

"Ini karena Prof Mahfud adalah ahli hukum, saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk Carbon Capture and Storage?" tanya Gibran. 

Baca Juga

Mahfud sendiri tak secara lugas menjawab tentang CSS dan memilih memaparkan dengan gambaran besar mengenai regulasi.  

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menegaskan strategi Indonesia untuk menjadi hub penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage atau CCS). Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi menyebut Indonesia berdiri di garis depan era industri hijau dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer.

Potensi itu memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun, dengan perkiraan puncak emisi 1,2 gigaton CO2-ekuivalen pada tahun 2030.

"Dalam upaya mencapai net zero emission pada 2060, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik tetapi juga menggali kerja sama internasional," katanya di Jakarta, Sabtu (23/12/2023).

Jodi menyebut hub CCS menjadi penanda era baru bagi Indonesia, di mana CCS diakui sebagai license to invest (izin untuk berinvestasi) untuk industri rendah karbon seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.

"Pendekatan ini akan menjadi terobosan bagi perekonomian Indonesia, dengan membuka peluang industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk-produk rendah karbon," ujarnya.

Kendati demikian, CCS memerlukan investasi besar. Sebagai bukti keseriusan, Pemerintah Indonesia telah meneken MoU dengan ExxonMobil yang mencakup investasi 15 miliar dolar AS dalam industri bebas emisi CO2.

Sebagai perbandingan, proyek CCS Quest di Kanada membutuhkan 1.35 miliar dolar AS untuk kapasitas 1.2 juta ton CO2 per tahun. Data ini menyoroti pentingnya alokasi penyimpanan CO2 internasional dalam memfasilitasi investasi awal yang besar untuk proyek CCS.

Menurut Jodi, sebagaimana negara-negara tetangga seperti Malaysia, Timor Leste, dan Australia, juga bersaing berupaya menjadi pusat CCS regional, maka penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan kesempatan ini sebagai pusat strategis dan geopolitik.

"Inisiatif ini diharapkan tidak hanya membantu Indonesia dalam mencapai tujuan lingkungan global, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inovatif," katanya lagi.

Sebagai pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS, dan berperingkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute, Indonesia telah membangun fondasi hukum yang kuat.

Regulasi ini termasuk Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS di industri hulu migas, Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui IDXCarbon.

"Kita juga menuju penyelesaian Peraturan Presiden yang akan lebih memperkuat regulasi CCS," katanya lagi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement