Kamis 28 Dec 2023 00:30 WIB

Ada Fenomena Makan Tabungan, Ini Penyebabnya Menurut Ekonom

Faktor utama yang mempengaruhi fenomena tersebut, yaitu meningkatnya biaya hidup.

Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi Uang Rupiah
Foto: dok. Pixabay
Ilustrasi Uang Rupiah

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, fenomena "makan tabungan" di masyarakat utamanya dipengaruhi oleh pengeluaran yang tak sebanding dengan pendapatan di kalangan masyarakat kelas menengah. Mengacu dari beberapa indikator, Faisal membenarkan bahwa akhir-akhir ini memang ada kecenderungan masyarakat untuk menggunakan tabungannya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kalau saya melihat dari beberapa indikator, memang ada indikasi yang cukup kuat bahwa kalangan menengah ini sudah sedemikian rupa spending-nya sehingga harus menggunakan tabungan mereka, baik untuk konsumsi maupun bayar cicilan,” kata Faisal saat dihubungi di Jakarta, Rabu (27/12/2023).

Baca Juga

Fenomena “makan tabungan” yang saat ini ramai diperbincangkan merupakan suatu keadaan yang mana masyarakat berbelanja melebihi dari pendapatan yang diterimanya, sehingga terpaksa untuk menggunakan tabungannya. Faisal menjelaskan, faktor utama yang memengaruhi fenomena tersebut, yaitu meningkatnya biaya hidup, termasuk harga barang yang kian melonjak tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat kelas menengah.

Tekanan yang dihadapi masyarakat kelas menengah juga tercermin dari indikator penduduk berdasarkan golongan pendapatan. Apabila mengacu pada indikator pembagian penduduk menjadi 5 kuintil, Faisal menjelaskan bahwa saat ini tingkat pertumbuhan pengeluaran paling rendah ada di kuintil 4 yang justru merupakan masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah, disusul dengan kuintil 3, 2, dan 1.

“Paling rendah itu kuintil 4 pertumbuhan spending-nya, disusul kuintil 3, 2, 1. Kuintil 1 itu adalah yang paling rendah pendapatannya. Jadi golongan menengah ini pertumbuhan spending-nya lebih rendah daripada golongan bawah. Tapi yang paling tinggi spending-nya tentu saja adalah yang kuintil 5, itu yang paling kaya,” kata Faisal pula.

Hal itu juga diikuti dengan melambatnya tingkat tabungan di kalangan masyarakat kelas menengah.

“Kalau kelas bawah kan umumnya dari dulu susah nabung, tapi kalau kalangan menengah semestinya sebagian income mereka masih bisa ditabung. Kalau semakin kecil tabungannya, berarti kalangan menengah semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," ujarnya lagi.

Berdasarkan survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI), rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) mengalami penurunan dari 15,7 persen pada Oktober 2023 menjadi 15,4 persen pada November 2023.

Kemudian, proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) juga turut mengalami penurunan dari 75,6 persen pada Oktober 2023 menjadi 75,3 persen pada November 2023.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan proporsi pembayaran cicilan atau utang (debt to income ratio) yang mengalami peningkatan menjadi 9,3 persen pada November 2023, dibandingkan bulan Oktober 2023 sebesar 8,8 persen.

"Jadi yang disampaikan dari survei BI itu adalah proporsi tabungan dan juga pembayaran cicilan kredit terhadap total income, yang mana untuk tabungan semakin kecil proporsinya, sementara yang konsumsi semakin besar dan juga cicilan relatif stabil," kata Faisal.

Adapun dari sisi dana pihak ketiga (DPK) perbankan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengamini bahwa memang terjadi perlambatan pertumbuhan DPK pada November 2023 yang tercatat sebesar 3,04 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

“DPK itu bukan melemah, tapi pertumbuhannya tahun ini sampai Desember lebih kecil daripada periode yang sama tahun lalu, bukannya melemah. Kalau melemah itu negatif, ini tidak negatif jadi tumbuh. Tapi lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” kata Mahendra.

Tercatat DPK perbankan pada November 2023 sebesar 3,04 persen yoy, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama pada 2022 yang tercatat sebesar 6,61 persen.

Ia menilai tingkat pertumbuhan DPK di rentang 3 persen tahun ini merupakan hal yang normal. Jika ingin dibandingkan, menurutnya lagi, perlu membandingkan pertumbuhan DPK pada masa prapandemi. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa perlambatan pertumbuhan DPK tahun ini merupakan hal yang tak perlu dikhawatirkan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement