EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai persetujuan Presiden Joko Widodo terkait revisi aturan penggunaan PLTS Atap merupakan keberpihakan negara dalam menjaga keterjangkauan tarif listrik.
"Persetujuan atas revisi Permen (Peraturan Menteri) ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap tersebut, lanjutnya, sangat bagus karena telah mengembalikan kedaulatan energi, terutama soal tarif ketenagalistrikan di Tanah Air. Tarif listrik pasti terkendali karena dikontrol oleh negara," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (11/2/2024).
Pengendalian tarif listrik oleh negara tersebut, tambahnya, karena pasal terkait dengan jual-beli (ekspor-impor) kelebihan daya PLTS Atap ke jaringan dan transmisi milik negara telah dihapus. Dengan tidak adanya klausul jual-beli tersebut, menurut dia, maka negara lebih mudah menentukan tarif listrik yang terjangkau bagi masyarakat.
"Negara akan lebih mudah menentukan tarif karena daya yang dialirkan adalah daya hasil pembangkitan yang dikelola oleh negara tanpa campur tangan swasta," ujarnya.
Selain itu, katanya, keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi. Keuangan negara akan tergerus saat harus membeli listrik dari PLTS atap.
Namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui presiden, menurut dia, klausul jual beli listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara dihapus.
Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung ke Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum tersebut, tetap memberikan izin bagi masyarakat konsumen Rumah Tangga dan industri untuk menggunakan listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap sesuai dengan syarat yang berlaku.
"Negara tetap membolehkan masyarakat membangun PLTS Atap, namun hanya untuk penggunaan secara pribadi. Tidak untuk diperjualbelikan," katanya.
Kemudahan lain, pengguna PLTS Atap juga masih bisa menikmati listrik dengan menggunakan jaringan listrik milik PLN.