EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah tengah mengkaji kebijakan pinjaman lunak untuk mahasiswa sebagai solusi pendanaan pendidikan di perguruan tinggi. Skema pinjaman itu disebut terinspirasi dari konsep kredit mikro dan filantropi. Di mana, dana pinjaman akan berasal dari dana bergulir dan donasi dari pihak yang ingin membantu pendidikan di Indonesia.
"Skema pinjaman lunak ini terinspirasi dari konsep kredit mikro dan filantropi. Dana pinjaman akan berasal dari dana bergulir dan donasi dari pihak-pihak yang ingin membantu pendidikan di Indonesia," jelas Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Warsito dalam siaran pers, Selasa (19/3/2024).
Warsito menjelaskan, pinjaman lunak tersebut dirancang untuk membantu para mahasiswa, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Menurut dia, skema pinjaman ini akan bersifat lunak, tanpa bunga, dan menggunakan dana bergulir sehingga tidak memberatkan mahasiswa dalam pengembaliannya.
Lebih jauh dia menyebutkan, pada skema pertama yang mirip dengan cicilan kredit mikro, mahasiswa dapat meminjam dana dan mengembalikannya secara mencicil setelah mereka bekerja dengan baik. Skema kedua melibatkan pihak ketiga, seperti corporate social responsibility (CSR) dan filantropi, yang menyediakan dana tanpa bunga untuk mahasiswa.
Menurut data Kemendikbudristek, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK-PT) pada 2024 adalah 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Nilai itu lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, yakni Malaysia dengan 43 persen, Thailand dengan 49,29 persen, dan Singapura dengan 91,09 persen.
Menurut Warsito, salah satu kendala utamanya adalah faktor ekonomi, yakni biaya kuliah yang tinggi. Dia pun berharap pinjaman sangat lunak ini dapat membantu meningkatkan APK-PT di Indonesia, yang saat ini masih tergolong rendah. Dengan begitu target APK-PT sebesar 46 persen pada 2045 bisa tercapai.
Selain itu, program itu juga diharapkan dapat membantu mengurangi angka putus kuliah dan meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia. Skema pinjaman ini juga dapat membantu mengatasi permasalahan tunggakan uang kuliah tunggal (UKT) yang banyak terjadi di perguruan tinggi.
Warsito menjelaskan, salah satu batu sandungan terbesar dalam mewujudkan skema pinjaman lunak pendidikan adalah memastikan pengembalian pinjaman. Untuk itu, pemerintah perlu menerapkan strategi jitu guna meminimalisasi resiko kegagalan bayar dan menjamin keberlanjutan program.
"Salah satu kendala program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada 1980-an adalah pengembalian yang sulit setelah yang bersangkutan lulus kuliah," ucap dia.
Langkah pertama yang ditempuh, lanjut Warsito, yakni membangun database terintegrasi yang memuat informasi lengkap para peminjam. Hal ini seiring dengan program pemerintah untuk menyatukan seluruh data kependudukan dalam satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) saja.
Di samping itu, edukasi kepada para peminjam tentang pentingnya mengembalikan pinjaman menjadi langkah krusial. Hal ini dikarenakan dana yang bergulir ini merupakan jantung program, sehingga memungkinkan generasi penerus bangsa berikutnya untuk meraih mimpi mereka.
Sementara itu, perwakilan dari Development Research University of Bonn Elza Elmira menyebutkan, berdasarkan studi survei sosio-ekonomi nasional dari BPS pada 2015, biaya pendidikan S1 di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 49 juta. Biaya itu belum termasuk pengeluaran lain seperti biaya kost, transportasi, hingga membeli buku.
"Angka pastinya saat ini kami belum bisa pastikan. Tetapi kalau melihat diskusi yang terjadi di internet, di perguruan tinggi negeri, biaya total bisa mencapai sekitar Rp 100 juta, untuk swasta bisa lebih dari Rp 100 juta," jelas Elza.
Dia juga menerangkan, dengan adanya skema pinjaman pendidikan, maka pemerintah dapat memberikan subsidi dengan lebih tepat. Pihaknya pernah menghitung bagi mahasiswa yang setelah lulus mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi subsidi yang digelontorkan pemerintah hanya sekitar 12 persen.
"Nah sementara untuk mereka yang dari kalangan sangat bawah gitu misalnya itu 45 persen atau hampir dari setengah dari utang itu sebenarnya dicover oleh pemerintah. Karena tadi misalnya dia bayar hutangnya, lebih lama terus kemudian setelah 25 tahun dia enggak selesai bayar utangnya," kata dia.
Menurut dia, program-program beasiswa memang membantu, akan tetapi jumlahnya sangat terbatas dan tidak bisa menjangkau semua orang. Bahkan jika hanya mengandalkan beasiswa dari pihak ketiga dengan proses seleksi cukup ketat, maka tidak dapat mencapai tujuan pemerataan pendidikan tinggi.
Maka dari itu, Elza menilai skema pinjaman pendidikan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan APK-PT secara berkelanjutan di Indonesia. Dengan desain yang tepat dan implementasi yang efektif, skema ini dapat membantu meningkatkan kualitas SDM dan mendorong kemajuan bangsa.