Jumat 21 Jun 2024 06:25 WIB

Rupiah tak Berdaya di Tengah Pencarian Arah Kebijakan Fiskal Pemerintahan Baru

Tren pelemahan rupiah telah terjadi sejak Mei 2023 atau lebih dari satu tahun.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Teller menghitung mata uang dolar AS dan rupiah di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).
Foto:

Menurut catatan, tren pelemahan rupiah telah terjadi sejak Mei 2023 atau lebih dari satu tahun belakangan. Pada awal 2023, rupiah berada di kisaran Rp 14.700 per dolar AS. Sejak itu rupiah terus melemah dengan pelemahan terburuk pada Oktober 2023 hingga menembus Rp 15.900 per dolar AS dan mendekati level psikologis Rp 16.000 per dolar AS.

Lantas pada akhir Maret 2024, rupiah berada di kisaran Rp 15.700 per dolar AS, dan sejak pertengahan April 2024 telah menembus Rp 16.000 per dolar AS. Dan kini telah bergerak ke level Rp 16.400 per dolar AS.

“Rupiah yang tidak kunjung menguat ini menurut saya memang banyak disebabkan karena faktor eksternal, yaitu stance kebijakan moneter negara-negara maju yang terus ketat, terutama bank sentral AS, The Fed,” kata Yusuf.

Ketika sepanjang Januari—September 2023, BI cenderung dovish dengan menahan suku bunga acuan di 5,75, sementara di waktu yang sama The Fed cenderung hawkish dengan menaikkan suku bunga acuannya hingga 100 bps, dari 4,5 persen pada Januari 2023 menjadi 5,5 persen pada September 2023.

“Dengan selisih imbal hasil yang menyempit, pilihan investasi di luar negeri menjadi lebih menarik sehingga memicu capital outflow yang kemudian mendorong pelemahan rupiah,” ujarnya.

Bank Indonesia, lanjut Yusuf, sebenarnya segera merespons dengan menaikkan suku bunga acuan 25 bps ke tingkat 6 persen. Namun, dengan ekspektasi pasar bahwa suku bunga di negara maju yang masih akan terus tinggi ke depan, higher for longer, membuat tekanan kepada arus modal keluar dan pelemahan rupiah masih terus terjadi hingga kini.

Kemudian, kini pada 2024 era hawkish The Fed diperkirakan belum akan berakhir, di mana penurunan suku bunga acuan The Fed tertahan. Keputusan The Fed bersikukuh menahan suku bunga di angka 5,5 persen, meski inflasi AS pada Mei 2024 semakin menurun ke 3,4 persen, itu menunjukkan sinyal penurunan suku bunga pada 2024 hanya akan terjadi satu kali pada tahun ini.

“Menurut saya hal ini akan memberi tekanan bagi bank sentral lain, termasuk BI untuk menaikkan suku bunga. Situasi inflasi global menurut saya masih akan dinamis pada 2024, terutama harga energi dan komoditas,” terangnya.

Lebih lanjut, faktor eksternal lainnya juga dipengaruhi oleh kondisi konflik geopolitik antar negara, terutama perang Rusia-Ukraina dan perang di Timur Tengah. Itu masih menjadi sumber ketidakpastian terbesar yang sewaktu-waktu berpotensi melonjakkan harga komoditas global, yang dapat membuat Fed rate terus berada di rezim bunga tinggi hingga akhir 2024 ini.

“Pecahnya perang Israel-Iran membuat era suku bunga tinggi belum akan berakhir dalam waktu dekat. The Fed akan terus menunda rencana pemangkasan suku bunganya,” kata Yusuf.

photo
Warga antre menukar uang rupiah di layanan kas keliling Bank Indonesia (BI) - (Edi Yusuf/Republika)

Sementara itu, menurut ekonom Ryan Kiryanto, pelemahan mata uang Garuda didominasi oleh sentimen kebijakan suku bunga The Fed. “Tekanan rupiah, yang juga dialami mata uang negara berkembang ini berbarengan ketika Ketua The Fed Jerome Powell selalu mengatakan bahwa The Fed belum akan menurunkan suku bunga acuan. Ini yang selalu jadi acuan atau patokan,” kata Ryan.

Hingga kemarin malam, Ryan mengatakan, pejabat The Fed masih konsisten dengan sikapnya, sepanjang inflasi masih jauh di atas target The Fed yakni 2 persen. Sementara inflasi AS diketahui saat ini bergerak di angka 3,1 persen.

Lantas, muncul spekulasi. Jika inflasi mendekati angka 2 persen, artinya di bawah 3 persen tercapai pada tahun ini, ada kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunga pada September atau Desember 2024. Penurunan suku bunga itu pun hanya satu kali.

Spekulasi tersebut membuat pasar berpikir bahwa suku bunga valuta asing masih tinggi. Suku bunga di AS diketahui 5,5 persen, sementara di Indonesia 6,25 persen, sehingga ada selisih suku bunga tipis 7,5 basis poin. Itu lah yang membuat sebagian orang yang punya rupiah mengonversi ke dolar AS.

Lalu, faktor selanjutnya adalah kondisi ekonomi AS yang menurut Ryan sedang dalam kondisi baik. Itu terlihat dari di antaranya data produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal I 2024 tumbuh 1,3 persen dan investasi asing yang ke AS juga kian bertambah.

“Ini yang membuat The Fed ragu-ragu menurunkan karena dengan suku bunga yang 5,5 persen saja ternyata kegiatan ekonomi di AS tidak terganggu, mkakanya judul besarnya adalah higher for longer, jadi inflasinya tinggi, suku bunga tinggi, tapi lama atau berkepanjangan,” jelasnya.

Tak ayal, hal itu mendorong sebagian pemilik dana di dalam negeri mendolarkan rupiahnya. Hal itu pun menyebabkan mata uang Garuda terus melemah hingga sempat menyentuh level Rp 16.400 per dolar AS.

“Jadi, faktor yang membuat rupiah kita melemah memang lebih dominan faktor eksternal. Ya karena suku bunga AS yang masih tinggi,” kata Ryan.

Sementara itu, mengenai faktor internal atau dalam negeri sendiri, Ryan menganggap tidak terlalu berpengaruh besar pada kondisi pelemahan mata uang rupiah. Seperti misalnya faktor pesta demokrasi Pilpres 2024 yang sudah selesai dan kini tinggal menunggu pergantian pemerintahan.

Saat disinggung mengenai kondisi ketidakpastian kebijakan ekonomi di pemerintahan yang akan datang, Ryan mengatakan hal itu belum bisa terdeteksi. Sebab yang berpengaruh pada kondisi ekonomi sekarang adalah kebijakan-kebijakan pada pemerintahan saat ini, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sedangkan di sisi lain, presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka beserta tim ekonominya belum merilis arah kebijakan ekonominya.

“Itu sekarang belum di-recognize. Karena kita masih menggunakan policy-policy incumbent, makanya nanti titik tolaknya ketika sertijab setelah 20 Oktober baru kita akan tahu ke arah mana policy ekonomi pemerintahan baru,” kata Ryan.

Ryan menambahkan, berdasarkan pengamatannya, pelemahan mata uang tidak hanya terjadi pada rupiah, tetapi juga pada hampir semua mata uang negara berkembang, termasuk Asia. Dia mengaku setuju dengan pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang menyampaikan bahwa rupiah relatif lebih kuat dibandingkan beberapa mata uang negara lain yang depresiasinya lebih besar.

“Karena bagaimanapun investor asing masih melihat bagaimanapun tata kelola anggaran di Indonesia masih kredibel,” tuturnya.

Hal itu terlihat dari diantaranya data pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 5 persen, inflasi yang terkendali di bawah 3 persen, serta penanaman investasi yang angkanya masih tinggi. Menurutnya, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini diprediksi bersifat temporer. Sehingga ketika The Fed menurunkan suku bunga pada kemungkinan September atau pengujung 2024, mata uang rupiah bisa kembali ke level formal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement