Jumat 21 Jun 2024 06:25 WIB

Rupiah tak Berdaya di Tengah Pencarian Arah Kebijakan Fiskal Pemerintahan Baru

Tren pelemahan rupiah telah terjadi sejak Mei 2023 atau lebih dari satu tahun.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Teller menghitung mata uang dolar AS dan rupiah di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang dolar AS dan rupiah di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).

EKBIS.CO,  JAKARTA – Sejak awal tahun ini hingga 19 Juni 2024, rupiah telah terseok dan mengalami pelemahan sebanyak 5,92 persen. Gejolak ekonomi global memberikan dampak besar terhadap ketahanan rupiah.

Pengamat ekonomi Yusuf Wibisono berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang didominasi oleh faktor eksternal. Kendati demikian, faktor internal berupa ketidakpastian arah kebijakan fiskal juga menjadi faktor yang memengaruhi pelemahan mata uang Garuda.

Baca Juga

“Dari dalam negeri, sentimen negatif terhadap rupiah datang dari ketidakpastian arah kebijakan fiskal, yang meningkatkan fiscal risk,” kata Yusuf saat dihubungi Republika, Rabu (19/6/2024).

Hal itu dilihat dari kondisi proyeksi defisit anggaran yang besar di kisaran 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu mendekati batas atas 3 persen dari PDB. Terlebih belakangan ini bermunculan kabar mengenai sikap Presiden terpilih Prabowo Subianto yang terlihat permisif dengan utang dan bahkan diisukan hendak menaikkan rasio utang pemerintah ke kisaran 50 persen dari PDB, meski kemudian kabar itu sudah dibantah tim Prabowo-Gibran.

“Pemerintah mendatang harus secepatnya menyampaikan komitmennya terhadap disiplin fiskal agar naiknya risiko fiskal dapat ditekan dan tidak menciptakan sentimen negatif terhadap rupiah,” tuturnya.

Yusuf berpendapat, selayaknya pemerintah dan Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah berbasis kekuatan fundamental perekonomian Indonesia. Hal itu yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik yang beban mahalnya harus ditanggung seluruh negeri.

“Kita memiliki bantalan ekonomi yang kuat untuk menjaga nilai tukar rupiah, yaitu surplus neraca perdagangan 49 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, senilai 170,1 miliar dolar AS,” tuturnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Bank Indonesia (@bank_indonesia)

Yusuf menuturkan, sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah, menurutnya, merupakan anomali karena hingga Mei 2024 Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik.

“Sepanjang 2023, surplus neraca perdagangan kita mencapai 36,9 miliar dolar AS, maka ketika rupiah melemah di sepanjang 2023, terutama sejak Mei 2023 hingga kini, hal ini secara jelas mengindikasikan kegagalan kebijakan kewajiban repatriasi devisa hasil ekspor (DHE) SDA,” ujarnya.

“Menurut saya, enforcement kebijakan kewajiban repatriasi DHE SDA adalah krusial. Menjadi amat tidak bermoral ketika surplus neraca perdagangan Indonesia yang demikian besar namun tidak kembali ke dalam negeri sehingga rupiah melemah. BI bahkan meluncurkan term deposit valas DHE dengan suku bunga yang kompetitif dibandingkan suku bunga deposito valas di bank luar negeri,” jelasnya.

Data menunjukkan cadangan valas pada Maret 2023, ketika term deposit valas DHE diluncurkan, bisa mencapai 145,2 miliar dolar AS. Namun pada September 2023 cadangan valas tinggal 134,9 miliar dolar AS. Kemudian pada Februari 2024 cadangan valas pulih di kisaran 144,0 miliar dolar AS. Namun pada Maret 2024 kembali jatuh di 140,6 miliar dolar AS.

Sementara itu, pada saat cadangan valas turun 10,3 miliar pada periode Maret—September 2023, surplus neraca perdagangan mencapai 18,5 miliar dolar AS. Kewajiban repatriasi DHE SDA gagal memasok dolar AS di pasar dalam jumlah memadai sehingga rupiah terus melemah. Hingga Maret 2024, posisi term deposit valas DHE hanya 1,95 miliar dolar AS.

Adapun tercatat, surplus neraca tertinggi terjadi pada April 2022 yakni 7,6 miliar dolar AS. Lalu pada Oktober 2023 hanya 3,5 miliar dolar AS, dan pada November 2023 turun 2,4 miliar dolar AS. Kemudian pada Desember 2023 angka surplus neraca perdagangan naik menjadi 3,3 miliar dolar AS, namun Januari 2024 hanya 2,0 miliar dolar AS dan Februari 2024 anjlok dengan hanya 0,9 miliar dolar AS. Lantas pada Maret 2024 surplus neraca perdagangan pulih 4,5 miliar dolar AS, namun kembali turun menjadi 2,9 miliar dolar AS dan lalu menjadi 2,7 miliar dolar AS pada April dan Mei 2024.

Untuk stabilitas rupiah ke depan, alih-alih memperkenalkan dan bergantung ke instrumen baru seperti SVBI atau menaikkan suku bunga acuan, menurut Yusuf, sebaiknya BI lebih mendorong pelaksanaan kewajiban repatriasi DHE SDA.

“Selagi masih memiliki kemewahan surplus neraca perdagangan, saya mendorong pemerintah dan BI segera bergegas menegakkan kewajiban konversi DHE SDA ke rupiah untuk mendorong pasokan dolar secara signifikan,” kata Yusuf.

Menurutnya, jika pelaksanaan kewajiban repatriasi dan konversi DHE berjalan efektif, penguatan rupiah akan signifikan. Intervensi dolar AS senilai 1—2 miliar saja di pasar valas sudah akan menarik rupiah ke kisaran Rp 16.000 per dolar AS.

“Penguatan rupiah sebagai hasil enforcement kewajiban repatriasi dan konversi DHE ini membuka ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan tanpa bergantung pada langkah The Fed,” tegasnya.

Tekanan global buat rupiah susah bangkit (berikutnya)

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement