EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan keprihatinan atas kondisi pertumbuhan industri ritel yang belum mengalami pemulihan usai pandemi Covid-19. Menurut penuturannya, pengusaha ritel terpaksa menurunkan target tingkat okupansi pusat perbelanjaan pada tahun ini dari 90 persen menjadi 80 persen.
Hal itu disampaikan oleh Alphonzus dalam diskusi bertajuk ‘Impor Ilegal Berjaya, Impor Resmi Dipersulit’ yang digelar Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (5/7/2024). Dalam kesempatan itu, dia mengkritisi impor ilegal yang menjadi akar permasalahan terganggunya pertumbuhan industri ritel, baik barang impor maupun lokal.
“Saya kira ini salah satu keprihatinan kami dari APPBI, kami ini memberikan atau menyewakan tempat kepada peritel, kami melihat kedua kategori ini, yakni impor dan lokal sama-sama akan terganggu (oleh impor ilegal). Sebetulnya ini sudah terbukti pada saat kami menyusun rencana bisnis 2024 di 2023,” kata Alphonzus.
Dia mengungkapkan bahwa secara persentase tingkat kunjungan pusat perbelanjaan atau mall dinilai sudah cukup baik usai rampungnya pandemi Covid-19. Namun tidak demikian hasilnya pada tingkat okupansi pusat perbelanjaan.
“Tingkat kunjungan cukup baik bahkan sudah lebih dari 100 persen dibandingkan sebelum Covid-19, tetapi tingkat okupansi yang tadinya kami berharap bisa kembali seperti sebelum Covid-19 yakni 90 persen pada 2024 ini terpaksa kami harus merevisi menjadi 80 persen, setelah memang selama Covid-19 turun menjadi 70 persen,” ungkapnya.
Alphonzus bercerita bahwa sebenarnya para pengusaha pusat perbelanjaan berharap pada 2023 tingkat okupansi pusat perbelanjaan bisa mencapai 80 persen dan pada 2024 naik mencapai 90 persen. Sayangnya tidak dapat terealisasi.
“Kami terpaksa harus merevisinya karena banyak sekali gangguan yang mengakibatkan teman-teman peritel ada yang tidak bisa dan ada yang mengurangi pembukaan toko-toko barunya mengenai kendala tadi (gangguan impor ilegal),” ujar dia.
Lebih lanjut, Alphonzus menakankan bahwa ada ancaman stagnasi pertumbuhan industri ritel di Indonesia yang disinyalir terjadi karena maraknya impor tidak resmi atau ilegal yang kian menjamur.
“Saya berpendapat ada ancaman potensi stagnasi pertumbuhan industri ritel Indonesia setelah Idul Fitri. Dan itu terjadi, beberapa department store tutup outletnya,” ujarnya.
Alphonzus menjelaskan alasan dari pendapatnya tersebut berkaitan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) soal impor yang tidak memberikan angin segar sama sekali buat pengusaha ritel yang taat mengikuti aturan alias legal. Sebaliknya, impor ilegal diyakini akan semakin berlenggang pinggang, menyusul rencana pemberlakuan bea masuk 200 persen.
“Karena pemerintah hanya fokus bikin aturan untuk pembatasan impor yang dimana itu yang terkena adalah barang resmi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang sudah terdaftar resmi, bayar pajak, melakukan prosedur impor secara resmi, dan sebagainya, Itu yang dijagain dan dibatasi, dibikin peraturan lebih ketat, tetapi impor ilegalnya sama sekali tidak pernah disentuh,” jelasnya.
Menurutnya, Permendag impor yang berkali-kali telah direvisi tidak menyelesaikan inti masalah yang sebenarnya. Alih-alih bertujuan melindungi UMKM dengan membatasi barang dari luar, aturan itu justru memperlebar potensi masuknya barang impor yang tidak resmi.