Sabtu 13 Jul 2024 00:09 WIB

Pengamat Sebut Indikator Persentase Rasio Utang terhadap PDB Bisa Menyesatkan, Kok Bisa?

Perlu adanya pemahaman yang lebih realistis terkait utang sesuai perkembangan ekonomi

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Utang (ilustrasi). Pengamat menilai perlu adanya pemahaman terkait rasio utang yang lebih realistis berdasarkan perkembangan ekonomi yang telah terjadi.
Foto:

Rasio Utang 50 Persen Apa Beneran Aman?

Yusuf kemudian menjelaskan soal ambang batas rasio utang terhadap PDB. Berdasarkan konsensus internasional, yang kemudian diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah terhadap  PDB yang aman adalah tidak lebih dari 60 persen.

Atas pemikiran tersebut, rasio utang pemerintah pada akhir 2023 yang mencapai 38,59 persen dikatakan lebih baik kondisinya dibandingkan rasio utang pada akhir 2022 yang mencapai 39,70 persen. Meskipun secara absolut utang pemerintah pada akhir 2022 baru mencapai Rp7.734 triliun, sedangkan pada akhir 2023 telah menembus Rp8.145 triliun.

Dengan indikator rasio stok utang terhadap PDB ini, Indonesia dikatakan termasuk negara dengan kinerja utang yang baik. Terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang rasio utangnya terhadap PDB masing-masing menembus lebih dari 200 persen dan 100 persen.

“Namun, indikator rasio utang pemerintah terhadap PDB ini akan menyesatkan bila di saat yang sama kita tidak memperhatikan kemampuan membayar utang dari pemerintah. Karena, PDB baru merupakan potensi penerimaan pemerintah, sedangkan penerimaan pemerintah yang aktual tercermin dari tax ratio,” jelasnya.

Sebagai gambaran, tax ratio Indonesia hanya di kisaran 10 persen dari PDB, sedangkan tax ratio Jepang di kisaran 35 persen dari PDB, dan tax ratio AS di kisaran 30 persen dari PDB. Tentu tax ratio Indonesia dengan kedua negara tersebut memang terlampau jauh.

“Maka membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia secara langsung dengan negara lain tanpa memperhatikan kemampuan membayar utang menjadi menyesatkan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, menurutnya indikator yang lebih tepat untuk menilai tingkat keamanan utang bukan soal rasio utang pemerintah terhadap PDB. Melainkan rasio antara bunga utang dan cicilan pokok utang dengan penerimaan perpajakan. Itu mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.

“Dengan membandingkan biaya dari utang terhadap penerimaan perpajakan, meski stok utang terhadap PDB masih terjaga, maka akan terlihat bahwa beban utang pada keuangan negara telah berada pada tingkat yang sangat memberatkan, dan karena itu mengancam keberlanjutan fiskal,” kata Yusuf.

Pada 2005—2014 pada era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 32,9 persen dari penerimaan perpajakan setiap tahunnya. Lalu, pada 2015—2022 pada era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen. 

“Dengan hampir setengah dari penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban utang, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas. Dengan besarnya non-discretionary expenditure (belanja terikat), maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang di bawah diskresi pemerintah, termasuk di sini proyek strategis nasional seperti IKN dan PSN, seringkali harus dibiayai dengan utang. Atas nama rakyat kemudian defisit anggaran dilakukan. Pembuatan utang baru menjadi terbenarkan dan bahkan seolah menjadi tugas mulia,” tutupnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement