Selasa 20 Aug 2024 15:09 WIB

Pakar Ungkap Sejumlah Tantangan Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 2025

Pemerintah harus lebih fokus pada program yang menyentuh kelas menengah.

Rep: Dian Fath Risalah / Red: Satria K Yudha
Pengunjung mengamati produk fashion pada pameran Jakarta International Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) 2024 di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (7/8/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Pengunjung mengamati produk fashion pada pameran Jakarta International Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) 2024 di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (7/8/2024).

EKBIS.CO,  JAKARTA --  Asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2 persen dinilai terlalu optimistis mengingat kondisi ekonomi global yang belum stabil. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut angka 5,2 persen menjadi tantangan sendiri, terutama dari sisi eksternal seperti perlambatan harga komoditas ekspor dan tensi geopolitik yang masih cukup tinggi.  

"Pertumbuhan 5,2 persen, meskipun targetnya lebih moderat daripada janji Prabowo yakni 8 persen pertumbuhan per tahun. Tapi 5,2 persen ini juga tantangannya berasal dari eksternal seperti perlambatan harga komoditas, ekspor. Karena permintaan dari negara-negara mitra tradisional Indonesia sedang menurun, terutama China," kata Bhima kepada Republika, Selasa (20/8/2024).

Bhima mengatakan, tensi geopolitik yang masih cukup tinggi, terutama di Timur Tengah dan di Ukraina Rusia juga masih menjadi tantangan yang harus dihadapi. Ini termasuk adanya kekhawatiran ihwal masih tingginya suku bunga acuan yang dapat menghambat investasi yang akan masuk.

"Dari dalam negeri sendiri, ini ada tantangan yang berasal dari masalah bahan makanan, bahan pangan, masih akan menyumbang inflasi. Kemudian juga dari fluktuasi harga minyak mentah, ini masih juga menjadi beban berat sebenarnya bagi APBN," terang Bhima.

Apabila ada penyesuaian dari harga BBM, jenis subsidi maupun non-subsidi, efeknya akan berdampak pada daya beli kelas menengah. Sementara, dari dalam negeri tantangannya memang kesempatan kerja di sektor formal yang semakin terbatas.

Kenaikan upah minimum dengan formulasi Undang-Undang Cipta Kerja masih sangat rendah juga bisa menekan kelas menengah. Sementara biaya pendidikan masih tinggi, dan yang harus dilihat upaya untuk mendorong dari kelas menengah agar tidak semakin menyusut jumlahnya, daya belinya bisa bertahan, itu berasal dari kebijakan perpajakan.

"Jadi kebijakan pajak jangan sampai ada kenaikan tarif PPN 12 persen dulu. Kemudian yang kedua, perlu ada insentif lebih besar ke sektor industri manufaktur sehingga menciptakan lapangan kerja yang lebih besar. Ketiga, dari sisi kalau memberikan subsidi, khususnya subsidi non-energi untuk ketahanan pangan, non-energi ini menurun di dalam era APBN 2025. Jadi subsidi non-energi ini, termasuk subsidi pupuk, alsintan, ini perlu ditingkatkan sehingga bisa mengendalikan harga bahan pangan di sisi pasokan," tutur Bhima.

Selain itu, pemerintah juga dinilai harus lebih fokus terhadap program-program yang menyentuh kelas menengah, seperti masalah kredit usaha rakyat dengan bunga yang lebih kecil lagi, menyasar sektor usaha produktif. "Itu perlu ditambah lagi plafonnya, perlu diperluas jumlah penerimanya, ada sinergi juga misalnya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mendorong pelaku usaha UMKM agar bisa ekspor lebih banyak lagi porsinya, dan yang paling penting bagaimana caranya agar formulasi dari upah minimum itu diubah."

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement