Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami tren penurunan. Pada 2021 jumlah kelas menengah mencapai 53,83 juta orang, tetapi angka ini menurun menjadi 49,51 juta pada 2022, menurun lagi menjadi 48,27 juta pada 2023, dan 47,85 juta pada 2024.
Kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 mencapai Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara.
Sementara, jumlah penduduk kelompok kelas atas relatif stabil, di mana pada 2021 sebanyak 1,07 juta orang dan pada 2024 juga sebanyak 1,07 juta orang. Artinya, kelas menengah yang hilang itu turun kelas, bukan naik kelas. Penurunan kelompok kelas menengah itu mengindikasikan adanya tekanan ekonomi.
Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, penurunan kelas menengah ini dapat berdampak pada perekonomian Indonesia yang kurang resilien terhadap guncangan. “Kelas menengah memiliki peran yang sangat krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Ketika proporsi kelas menengah relatif tipis, perekonomian kurang resilien terhadap guncangan. Jadi, peran kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya tahan suatu ekonomi,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Jumat (30/8/2024).
Menurut Amalia, mayoritas pengeluaran kelas menengah dan menuju kelas menengah menyasar kelompok makanan serta perumahan, dengan pengeluaran untuk perumahan mencakup biaya sewa dan perabotan rumah tangga dan tidak termasuk biaya cicilan pembelian rumah atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Secara tren, proporsi pengeluaran kelas menengah untuk makanan mengalami peningkatan, sementara hiburan dan kendaraan mencatatkan penurunan.
“Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga untuk kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class),” kata Amalia.