Kamis 03 Oct 2024 15:21 WIB

LSI Denny JA: 10 Tahun Jokowi, Indeks Kebebasan Ekonomi Meningkat

Kebebasan ekonomi dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan sosial.

Red: Satria K Yudha
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diapit Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat meresmikan pabrik PT KAN di Bontang, Kaltim.
Foto:

Indeks Kebebasan Ekonomi diukur oleh The Heritage Foundation, sebuah lembaga think tank terkemuka yang berbasis di Amerika Serikat. Lembaga ini telah mempublikasikan laporan tahunan tentang kebebasan ekonomi sejak 1995, yang mencakup evaluasi terhadap lebih dari 180 negara di seluruh dunia.

Data yang digunakan oleh The Heritage Foundation berasal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, termasuk laporan resmi pemerintah, data dari lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), serta berbagai survei bisnis.

The Heritage Foundation menggunakan metodologi yang transparan dan konsisten untuk mengukur empat pilar utama kebebasan ekonomi, yaitu Rule of Law (hukum dan hak properti), Government Size (pengeluaran pemerintah, perpajakan), Regulatory Efficiency (efisiensi regulasi), dan Open Markets (pasar terbuka).

Pilar hukum dan hak properti mengukur perlindungan hak milik, integritas hukum, dan ketegasan dalam penegakan hukum. Negara yang memiliki sistem hukum yang kuat cenderung memiliki kebebasan ekonomi yang lebih tinggi karena adanya perlindungan yang baik terhadap hak milik individu dan kontrak bisnis.

Kemudian, pilar pengeluaran pemerintah mengukur seberapa besar peran pemerintah dalam ekonomi, terutama terkait dengan pengeluaran publik dan tingkat perpajakan. Semakin besar peran pemerintah dalam pengaturan ekonomi, semakin rendah kebebasan ekonomi.

Ketiga, pilar efisiensi regulasi yang mengukur efisiensi regulasi, termasuk kemudahan memulai bisnis, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan kebebasan moneter. Regulasi yang berlebihan sering kali menghambat pertumbuhan usaha dan inovasi.

Adapun pilar terakhir, yaitu pasar terbuka, mengukur kebebasan perdagangan, kebebasan investasi, dan kebebasan keuangan. Semakin terbuka suatu negara terhadap perdagangan internasional dan investasi asing, semakin tinggi tingkat kebebasan ekonominya.

Pada awal masa jabatan Jokowi pada tahun 2014, Indonesia memiliki skor Indeks Kebebasan Ekonomi sebesar 58,5 dan berada di peringkat 100 di dunia. 10 kemudian, pada 2023, skor ini meningkat menjadi 63,5 dan peringkat Indonesia naik signifikan ke posisi 53.

"Peningkatan ini mencerminkan keberhasilan Jokowi dalam meningkatkan kebebasan ekonomi melalui reformasi di berbagai sektor," kata Denny JA.

Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan ini adalah serangkaian reformasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi. Jokowi berfokus pada penyederhanaan regulasi dan mempermudah perizinan usaha melalui berbagai program seperti Online Single Submission (OSS), yang memungkinkan pelaku bisnis mengurus perizinan secara daring.

Langkah tersebut dinilai sangat meningkatkan efisiensi regulasi dan mempercepat proses investasi. Selain itu, Jokowi juga mendorong investasi asing dengan membuka sektor-sektor strategis yang sebelumnya tertutup atau terbatas bagi investor asing, seperti sektor infrastruktur dan teknologi.

Kebijakan ini berhasil meningkatkan aliran modal asing ke Indonesia, memperkuat infrastruktur, dan menciptakan lapangan kerja baru. Meski ada peningkatan yang signifikan, terdapat beberapa kelemahan dalam kebijakan ekonomi Jokowi yang tercermin dalam Indeks Kebebasan Ekonomi. Salah satunya adalah birokrasi yang masih lambat dan kompleks juga menjadi tantangan bagi pelaku bisnis, terutama di tingkat lokal.

Meskipun OSS telah membantu menyederhanakan proses perizinan, beberapa regulasi di tingkat daerah masih menjadi hambatan bagi investasi dan pertumbuhan usaha, yang pada akhirnya mempengaruhi skor kebebasan ekonomi.

"Berdasarkan analisis Indeks Kebebasan Ekonomi selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, dapat disimpulkan bahwa Jokowi berhasil meningkatkan kebebasan ekonomi di Indonesia."

Meski demikian, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal pengurangan ketergantungan pada pengeluaran publik dan penyederhanaan birokrasi di pusat dan tingkat daerah. Jika reformasi ini dipertahankan dan diperdalam, Indonesia tidak hanya akan memperkuat pijakan ekonominya di kawasan, tetapi juga membuktikan diri sebagai negara yang mampu menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip kebebasan pasar global.

Masa depan yang lebih stabil dan inklusif pun menjadi kemungkinan nyata, seiring kebijakan yang berakar pada keterbukaan dan efisiensi terus berkembang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement