EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan pemerintah harus cakap dalam menghadapi fenomena meningkatkan jumlah pekerja gig. Pekerja gig merupakan orang yang bekerja dalam sistem ekonomi gig, biasanya berbasis platform berdasarkan permintaan klien dan jangka waktu tertentu.
"Pengaturan pekerja gig memerlukan keseimbangan dari berbagai sisi, mulai dari pekerja gig, konsumen, hingga industri," ujar Huda di Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Huda menilai keseimbangan ini bertumpu pada jenis pasar industri gig yang berbentuk two-sided market. Menurut Huda, penerapan aturan pemerintah terhadap pekerja gig akan memengaruhi sisi lainnya.
Huda menyampaikan pekerjaan gig menjadi tumpuan untuk pekerja yang terkena badai PHK dalam beberapa bulan terakhir. Huda menyebut kehadiran pekerja gig, seperti driver ride-hailing atau ojek online (ojol), memberikan safety job bagi masyarakat yang menjadi pengangguran.
"Hal ini juga menjadi kesempatan bekerja di tengah sulitnya pemerintah menghadirkan lapangan kerja formal," ucap Huda.
Huda sempat membuat studi terkait hal ini. Huda menyebut kota atau kabupaten yang terlayani layanan ride-hailing atau ojol mempunyai tingkat pengangguran 37 persen lebih rendah dibandingkan kota dan kabupaten yang belum terlayani layanan tersebut.
"Namun demikian, pekerja gig juga menghadapi masalah kesejahteraan yang mana pekerja gig jarang mendapatkan perlindungan sosial, mulai dari perlindungan kesehatan, hingga dana pensiun," lanjut Huda.
Menurut Huda, skema pembayaran premi perlindungan yang belum sesuai dengan karakteristik pekerja gig menjadi persoalan utama. Huda menyampaikan formalisasi pekerja gig perlu pertimbangan sangat matang karena formalisasi pekerja gig juga menghadirkan potensi penurunan manfaat ekonomi dari pekerja gig, seperti fleksibilitas jam kerja.
Bagi Huda, formalisasi pekerja gig juga bisa menyebabkan daya serap industri ekonomi gig terbatas di tengah penurunan investasi serta permintaan tenaga kerja yang tinggi. Huda mengatakan kebijakan yang tepat sasaran dan bisa membantu pekerja gig untuk naik kelas ke pekerjaan formal bisa membuat kehadiran ekonomi digital bisa dirasakan lebih banyak masyarakat dan membantu pemerintahan baru mencapai target pertumbuhan ekonomi.
"Maka saya menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam pembuatan kebijakan terkait pekerja gig," sambung Huda.
Huda menambahkan, ekonomi gig di Indonesia menunjukkan karakteristik unik yang berbeda dari negara-negara maju, di mana peralihan dari pekerjaan informal menuju semiformal atau formal masih berada pada tahap awal. Meskipun digitalisasi telah membawa elemen formalitas seperti pencatatan aktivitas pekerja dalam sistem atau aplikasi, Huda menyebut masih ada tantangan dalam hal perlindungan sosial dan keamanan pekerjaan bagi para pekerja gig.
"Fleksibilitas yang ditawarkan sektor ini menciptakan peluang baru, namun juga menimbulkan tantangan terkait kesejahteraan pekerja," lanjut Huda.
Huda menyampaikan platform gig telah memberikan peluang yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pendapatan, namun sayangnya, aksesibilitas ini tidak selalu diikuti dengan perlindungan dan keselamatan kerja yang memadai. Huda menyebut pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang tidak hanya mendukung hak-hak pekerja gig tetapi juga mendorong inovasi dalam perusahaan platform gig.
"Dalam konteks ini, penting untuk mencapai keseimbangan antara fleksibilitas pekerjaan dan keamanan bagi pekerja gig," kata Huda.
Meskipun pekerjaan gig dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, Huda menilai terdapat risiko seperti jebakan low-skilled labor trap yang mana pekerja dengan keterampilan rendah terjebak dalam siklus pekerjaan sementara tanpa akses ke pengembangan keterampilan atau karir. Huda menyampaikan rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan, termasuk memperluas program peningkatan kapasitas, mendorong kolaborasi untuk dana perlindungan sosial, serta memotivasi pekerja gig untuk berpartisipasi dalam program pengembangan diri.