Senin 28 Oct 2024 14:49 WIB

Penyelamatan Sritex, Bantalan untuk Pekerja yang Terkena PHK adalah Kunci

Salah satu solusi menyelamatkan Sritex dengan menjual aset untuk melunasi utang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Buruh mengendarai sepeda keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit, hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Buruh mengendarai sepeda keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit, hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Hal tersebut termaktub dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Sritex dinyatakan pailit, imbas utang jumbo yang menumpuk sebesar 1,6 miliar Dolar AS atau sebesar Rp 25,01 triliun. 

Presiden RI Prabowo Subianto memberikan atensi pada kasus pailitnya Sritex dengan memerintahkan empat menterinya untuk melakukan penyelamatan terhadap perusahaan tersebut. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbin menilai penyelamatan yang perlu dilakukan adalah untuk industri tekstil secara keseluruhan.

Baca Juga

"Jadi bukan tertuju hanya satu perusahaan, penyelamatan dilakukan dengan memberikan bantalan pada pekerja yang terdampak PHK, karena dampaknya pada daya beli dan dapat menyebabkan jatuh ke kemiskinan jika tidak memiliki pendapatan," jelas Eisha kepada Republika, Senin (28/10/2024).

Pasalnya, penurunan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19, tepatnya sejak penerapan China-ASEAN Free Trade Area (ACFTA). Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China yang menguasai pasar global produk tekstil dengan keunggulan produktivitas dan daya saing tinggi. 

Ketidakmampuan bersaing juga diperburuk oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Situasi ini mendorong produk tekstil China membanjiri pasar Indonesia. Dikonfirmasi terpisah, Chief Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto menilai salah satu solusi menyelamatkan Sritex adalah dengan menjual aset untuk melunasi utang. 

"Dengan adanya pengajuan pailit, yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon lalu dikabulkan oleh PN Semarang dan  Saat ini Sritex mengajukan kasasi ke MA, yang akan memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan kasasi. Jika ditolak maka putusan PN tetap berlaku, proses kepailitas akan dilanjutkan oleh kurator, yang bertanggung jawab mengelola, mengamankan, dan menjual aset perusahaan untuk melunasi utang," kata dia.

Bila mengingat masa lalu, Sritex yang berdiri sejak tahun 1966 itu sukses mengekspor produknya ke berbagai negara, termasuk membuat pakaian militer di sejumlah negara. Sritex pernah berkibar saat menangani pembuatan seragam tentara di berbagai belahan dunia. 

Sepeninggal HM Lukminto pada 2014, perusahaan tersebut dilanjutkan dua anaknya, yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, yang merupakan generasi kedua dalam keluarga tersebut. Di bawah kepemimpinan kakak beradik ini, Sritex masih solid dan mampu menjaga nama besarnya di pasar global.

Bahkan, pandemi Covid-19 lalu tidak terlalu mengganggu operasional pabrik. Terbukti, PT Sritex mampu mendistribusikan sebanyak 45 juta masker hanya dalam waktu tiga pekan. Selain itu, Sritex juga masih mengekspor produknya ke Filipina meski situasi masih pandemi.

Beberapa lini produksi ada di perusahaan tersebut, mulai dari pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan pembuatan busana. Dengan pengelompokan usaha ini, proses produksi makin cepat dan efisien.

Namun, meski produksi dan penjualan masih berjalan, Sritex ternyata memiliki utang yang terus bertambah selama bertahun-tahun. Dari laporan keuangan terbaru, utang yang dimiliki Sritex sekitar Rp 25 triliun. Di sisi lain, kerugian yang ditanggung perusahaan tersebut sampai dengan pertengahan tahun ini mencapai Rp 402,66 miliar. Utang dan kerugian ini diperparah dengan lambatnya penjualan akibat pandemi Covid-19 dan persaingan sengit produk tekstil dan produk tekstil (TPT) antarnegara. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement