Menurut data pemerintah, konsumsi susu nasional pada 2023 mencapai 4,6 juta ton. Namun, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 1 juta ton atau sekitar 20 persen dari total kebutuhan. Sementara sisanya berasal dari impor.
“Oleh karena itu, sisa yang 80 persen yang sementara ini dilakukan importasi susu itu nanti secara bertahap akan kita kurangi dan kita akan mendorong industri pengolahan susu yang berbadan hukum, berbadan usaha koperasi,” ucap Ferry.
Ia menambahkan, Kemenkop juga akan meminta Kementerian Perdagangan untuk meninjau kembali soal pengenaan bea masuk nol persen terhadap produk susu impor, yang saat ini didominasi oleh Selandia Baru dan Australia.
Di sisi lain Indonesia dan Australia saat ini memiliki perjanjian perdagangan bebas bilateral IA-CEPA, yang telah berlaku sejak 5 Juli 2020. Melalui perjanjian IA-CEPA, Australia telah menghilangkan seluruh tarif bea masuk (6.474 pos tarif) untuk produk-produk Indonesia, sehingga ekspor Indonesia ke Australia sepenuhnya bebas bea masuk. Sementara itu, Indonesia juga telah menghapuskan sebagian besar tarif bea masuknya (94,5 persen) atau setara dengan 10.229 pos tarif) untuk produk-produk Australia.
Kondisi peternak dan koperasi susu menjadi sorotan belakangan ini setelah para peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah mengeluhkan pembatasan kuota penyerapan susu oleh industri pengolahan susu. Para pengepul susu dan peternak melakukan aksi protes di Kabupaten Boyolali pada Sabtu (9/11/2024) dengan aksi mandi susu menggunakan susu yang tak terserap industri pengolahan susu.
Produksi susu oleh peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali mencapai 140 ribu liter per hari. Belakangan ini, serapan IPS hanya sekitar 110 ribu liter per hari. Terdapat sisa sebanyak 30 ribu liter per hari yang tak terserap pabrik. Salah satu koperasi yang terdampak adalah KUD Mojosongo, yang merupakan koperasi produksi susu terbesar di Kabupaten Boyolali.