EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS pada akhir perdagangan Jumat (13/12/2024) ditutup turun 64 poin atau 0,40 persen menjadi Rp16.009 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp15.945 per dolar AS. Melemahnya nilak tukar rupiah terhadap dolar AS dipengaruhi kebijakan suku bunga The Fed.
"The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada tahun 2025 setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada tahun 2024," kata pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam keterangan di Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Ibrahim menuturkan kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden terpilih Donald Trump juga diperkirakan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang. Selain Fed, keputusan suku bunga di Jepang dan Inggris juga akan menjadi fokus minggu depan.
Selain itu, investor kecewa dengan serangkaian langkah stimulus agresif setelah pembaruan dari Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China, pertemuan dua hari yang berakhir pada Kamis. Sebuah pernyataan media pemerintah menunjukkan bahwa China telah berjanji untuk meningkatkan defisit anggarannya, meningkatkan penerbitan utang, dan melonggarkan kebijakan moneter untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah ketegangan perdagangan yang diantisipasi dengan AS.
Namun, pasar melihat kebijakan tersebut tidak mungkin memberikan momentum ekonomi langsung yang dibutuhkan untuk melawan tekanan deflasi China. Dari domestik, dampak kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Kebijakan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan.
Risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar.
Para ekonom memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan dan ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.