Senin 16 Aug 2010 04:02 WIB

Penguatan Rupiah yang Cepat Berpotensi Rugikan Eksportir

Rep: palupi annisa auliani/ Red: taufik rachman

EKBIS.CO, JAKARTA – Penguatan rupiah yang terlalu cepat, dinilai merugikan ekportir dan produsen dengan pasar dalam negeri, untuk jangka panjang. Meskipun, penguatan rupiah saat ini juga dianggap bisa menjadi momentum untuk lebih mendorong ekspor barang olahan. Penguatan rupiah dinilai hanya dampak aliran modal asing, yang membutuhkan kontrol lebih ketat dari Bank Indoensia (BI) dan Kementerian Keuangan.

‘’Saat ini rupiah terlalu kuat, karena aliaran dana masuk yang besar,’’ kata ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI), Ahad (15/8). Hal ini terjadi karena spread yang ditawarkan SBN dan SBI masih jauh lebih tinggi daripada instrumen di Amerika dan Jepang.

Aliran dana ini, menurut Dradjad harus dikawal lebih ketat, agar tren penguatan rupiah tak terjadi terlalu cepat. Terutama melalui pembatasan penerbitan surat berharga negara (SBN) – terutama surat utang negara (SUN) – dan sertifikat BI (SBI). ‘’Terutama SUN. Jangan jor-joran, APBN surplus tapi tetap menerbitkan SUN dengan yield tinggi,’’ kata dia.

Menurut Dradjad, BI dan Kementerian Keuangan harus lebih berkoordinasi untuk menurunkan imbal hasil (yield) SUN. ‘’Yang penting jangan sampai ada insentif covered arbitrage yang masih didapat,’’ kata dia mengenai berapa kisaran yield yang lebih wajar.

Dradjad berpendapat saat ini penguatan rupiah terjadi terlalu cepat. Sebagai gambaran, sebut dia, pada 2008 nilai tukar rupiah masih bertengger di Rp 12 ribu per dolar Amerika. Menurut dia, fluktuasi rupiah – baik menguat maupun lemah – memberikan iklim tak sehat bagi ekportir maupun importir.

Menurut Dradjat, penguatan rupiah saat ini tak bisa digeneralisir sebagai penguatan regional. ‘’Karena penguatan rupiah paling tinggi,’’ kata dia. Sementara penguatan mata uang Cina – ekonomi terkuat saat ini – hanya tipis bahkan nyaris stabil saja.

Kalaupun ekspor belum terlalu terdampak, kata Dradjad, serbuan produk impor Cina justru harus lebih dikhawatirkan. ‘’Daya saing produk dari produsen kita yang dipasarkan dalam negeri menjadi turun,’’ kata dia.

Dengan analogi bahasa matematika, Dradjad menyebut penguatan rupiah saat ini positif di turunan pertama tetapi negatif di turunan kedua. ‘’Mumpung belum parah, harus ambil tindakan,’’ kata dia.

Dradjad mengatakan ekspor Indonesia tidak didominasi barang dengan bahan impor, tapi lebih berupa produk primer. ‘’Ketika ekspor melambat, kantong pasar kita diambil orang lain. Ketika yang diambil banyak, semakin sulit untuk merebut kembali nanti karena jalur distribusi pasti sudah terlanjur berubah juga,’’ papar dia mengenai sudut pandang persoalan saat ini.

Sudut pandang lain diberikan ekonom dari Unika Atma Jaya, Anton Prasetyantoko. ‘’Kalau rupiah terus menguat, justru harus menjadi memontum untuk mendorong pengekspor bahan primer berpikir untuk mengolah di dalam negeri guna mendapat nilai tambah lebih besar,’’ papar Prasetyantoko, Ahad (15/8).

Prasetyantoko berpendapat ‘kerugian’ penguatan rupiah yang terlalu cepat hanya berdampak pada ekportir bahan primer. Sementara untuk eksportir berbahan baku impor, justru penguatan ini tak menjadi masalah. ‘’Karena mereka mendapatkan bahan baku lebih murah,’’ kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement