EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah membuka peluang dalam proses renegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki lahan tambang di Indonesia.
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Thamrin Sihite, mengungkapkan terdapat 14 perusahaan sudah menyetujui poin-poin utama yang ada dalam renegosiasi.
"Secara prinsip mereka sudah menyetujui," ujar Thamrin usai penutupan acara pekan olahraga dan seni kementerian ESDM, di Kementerian ESDM, Jakarta, Ahad (16/9).
Thamrin mengungkapkan enam isu strategis dalam kontrak tersebut sudah dipenuhi. Yakni luas wilayah, kewajiban pengolahan dan pemurnian, peningkatan penerimaan negara, divestasi, perpanjangan kontrak, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Meski demikian, tutur Thamrin, ada satu masalah yang masih terus dibahas dalam renegosiasi. Yakni penerimaan negara dari perusahaan tersebut seperti penetapan besaran pajak badan usaha dan royalti.
Secara umum, tutur Thamrin, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya sudah bisa menyetujui dengan prinsip peningkatan penerimaan negara. Akan tetapi, ujarnya, pemerintah perlu meluruskan lagi apakah perusahaan tersebut termasuk dalam prefalling law (berdasarkan Undang-Undang) atau nail down (berdasarkan kontrak).
Pasalnya, pemerintah masih menghitung untung-rugi dari penerimaan negara jika menggunakan salah satu dari skema tersebut. "Karena kontrak karya kan ada generasi 1,2,3. Generasi 1, ada 45 persen, generasi 3 misalnya 30 persen. Ini kalau kementerian keuangan tetap saja nail down,"jelasnya. Ke-14 perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang kontraknya berdasarkan perjanjian kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Hingga akhir Agustus, terdapat 65 perusahaan (60 PKB2B dan 5 KK) yang telah menyetujui enam isu strategis renegosiasi. Sementara, 41 perusahaan (27 KK dan 14 PKP2B) baru menyetujui sebagian dan lima perusahaan (KK) belum menyetujui semua poin renegosiasi.Pada umumnya, tutur Thamrin, perusahaan lebih memilih prinsip nail down.
Akan tetapi, Thamrin menjelaskan pemerintah akan mengalami kekurangan dari pendapatan negara seperti pajak badan usaha. Menurutnya, baik prefalling law mau pun nail down punya masing-masing argumentasi.
"Kalau dia nail down artinya sekarang ada yang pajaknya 45 persen, kalau kita setuju prefalling law itu langsung drop ke 30 persen," ujarnya. Sebaliknya, royalti yang diterima oleh pemerintah pun akan berkurang jika menggunakan skema nail down atau berdasarkan kontrak.
Thamrin mengungkapkan empatbelas perusahaan tersebut pun sudah setuju untuk isu smelter atau pemurnian. Akan tetapi, ujarnya, baru sampai pada tahap eksplorasi. Oleh karena itu, tuturnya, beberapa perusahaan masih membutuhkan Focus Group Discussion untuk aktivitas smelter.
"Sekarang yang banyak soal tahap pemurnian itu yang masih dibikin FGD misalnya untuk Freeport. Alasan mereka memerlukan investasi besar dan waktu. Tapi dari pemerintah kan sudah sejak 1967 mereka di sini," ujarnya.