EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Dunia memperkirakan sektor manufaktur di Indonesia akan bangkit kembali setelah sempat terpuruk karena krisis keuangan di Asia pada 1998 lalu. "Bangkitnya sektor manufaktur ini dipicu oleh dua faktor yaitu, tingginya permintaan konsumsi domestik dan cepatnya pertumbuhan investasi," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefan Koeberle, di Jakarta, Rabu (10/10).
Mengenai tingginya permintaan konsumsi domestik, laporan Bank Dunia menyebut secara spesifik logam, makanan, bahan kimia, dan suku cadang otomotif sebagai sektor yang memicu pertumbuhan industri manufaktur. "Permintaan domestik seolah tidak terpengaruh oleh krisis keuangan global dan tumbuh sebesar 6,4 persen di paruh pertama 2012 berkat investasi dan konsumsi," kata Koberle.
Sementara untuk investasi yang menjadi faktor kedua bangkitnya sektor manufaktur, Bank Dunia memperkirakan kenaikan upah buruh di Cina akan membuat perusahaan-perusahaan tekstil, pakaian dan sepatu memindahkan operasinya ke Indonesia. Selain itu, industri otomotif Indonesia juga bakal meraih untung karena semakin banyak sejumlah perusahaan otomotif Jepang berencana memperluas jaringan pemasoknya.
"Investor asing kini mulai banyak melirik ke Indonesia karena potensi kelas menengahnya yang begitu besar dan upah buruhnya yang relatif lebih kompetitif," kata Koberle.
Investasi asing dalam kegiatan manufaktur di triwulan kedua 2012, yang ditunjukkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, mencapai 1,2 miliar dolar AS, atau naik 62 persen dari tahun sebelumnya.
"Indonesia berpeluang meningkatkan pangsa pasar globalnya di sektor manufaktur, membuka jutaan peluang kerja baru dan menggerakan transformasi struktural," kata Koberle.
Namun Koberle mengingatkan pemerintah untuk tidak sekedar mengandalkan permintaan domestik dan internasional. Pemerintah dan swasta menurut dia harus bekerja sama mengatasi masalah yang menghalangi jalan sektor manufaktur Indonesia untuk menjadi lebih kompetitif di kawasan dan tumbuh secara berkelanjutan.
Bank Dunia menulis dalam laporan 'Mempercepat Laju: Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia', sejak krisis keuangan Asia 1998, sejumlah masalah makro melemahkan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia dan menurunkan daya saingnya di kawasan.
Masalah tersebut di antaranya adalah apresiasi rupiah, naiknya upah buruh, pergeseran fokus ke perdagangan komoditas dan sektor-sektor berbasis sumber daya alam, persaingan internasional (terutama dari China) dan pengetatan margin keuntungan.
Persoalan makro itu masih harus ditambah masalah mikro bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang kesulitan karena biaya transportasi dan logistik tinggi, sulitnya mengakses pinjaman bank, serta kurangnya transparansi dan kepastian hukum
"Masalah-masalah ini menyulitkan pendatang baru untuk membangun usaha dan mempersulit upaya pemain lama untuk melakukan ekspansi dan mencapai skala ekonomi," kata Koberle