EKBIS.CO, JAKARTA -- Mantan Kepala Badan pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono mengaku khawatir atas keberlangsungan proyek kilang gas train 3 Blok Tangguh, di Papua Barat yang dikelola BP Berau Limited.
Pasalnya, persetujuan prinsipil pembangunan proyek tersebut dilakukan oleh lembaga yang ia pimpin, yang telah dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena BP Migas dianggap ilegal, ia mempertanyakan kelegalan kesepakatan yang dibuat BP Migas dengan BP pada Oktober lalu di London, Inggris itu. "BP juga sempat mempertanyakan status hukumnya bagaimana," katanya menjawab Republika, Rabu (14/11).
Oleh karena itu, ia berharap unit pelaksana kegiatan hulu migas yang bakal dibentuk pemerintah bisa segera menggantikan posisi BP Migas. "Sehingga kekosongan posisi ini tidak berlangsung lama dan bisa membuat kepercayaan investor kembali," tegasnya.
Terkait pernyataan sejumlah pihak yang menilai BP Migas proasing, ia tetap membantah. Menurutnya, selama di BP Migas, ada tiga Blok jatuh ke tangan Pertamina yang merupakan perusahaan negara.
Tapi, ia tak menampik investor asing memang tetap dibutuhkan untuk industri migas nasional. Biaya investasi yang tinggi tidak memungkinkan didanai sendiri oleh perusahaan minyak lokal.
"Buktinya yang di Donggi Senoro, Pertamina dan Medco hanya mampu membiayai 400 hingga 600 juta dolar AS dan bukan 200 miliar dolar AS," katanya. Sehingga LNG jatuh ke tangan Mitsubisi.
Sebelumnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 36/PUU-X/2012 tertanggal 13 November 2012, lembaga itu menyatakan BP Migas lembaga inkonstitusional. Padahal, semua kontrak migas yang dilakukan perusahaan migas dilakukan lewat BP Migas.