EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina persero Hanung Budya mengakui Pertamina memang tak lagi punya hak istimewa sejak lahirnya Undang-Undang Migas.
Ia mencontohkan, anak usaha Pertamina, Pertamina EP, memproduksi gas nasional. Akan tetapi, status Pertamina EP sebagai kontraktor BP Migas atau SKK Migas membuatnya tetap tak bisa menjual gasnya ke Pertagas (anak usaha Pertamina lainnya).
"Padahal itu sesama anak usaha. Pertagas tetap harus ikut tender dan kami sering kalah. Dimana privilege-nya?" ujar Hanung. Demikian juga dalam tender lapangan minyak, Pertamina harus ikut tender dan bersaing dengan asing.
Hanung membantah adanya selisih marjin delapan dolar AS per barel minyak yang diimpor Pertamina. "Angka delapan dolar AS per barel itu angka ilusi. Jadi, jangan berilusi," ujarnya.
Hanung menegaskan, transaksi dan kegiatan Pertamina melewati proses audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika ditemui penyimpangan maka akan ada penemuan oleh BPK.
Direktur Indonesia Resources Studies (Iress), Marwan Batubara menegaskan, seluruh pihak harus mendukung dominasi BUMN dalam pengelolaan migas nasional.
Dalam sejarah perminyakan dunia, yang mengambil posisi paling utama di dunia adalah BUMN. "Arab Saudi melalui Saudi Aramco dan Cina melalui Petrochina. Mengapa Pertamina tak bisa demikian?" ujarnya.
Pembubaran BP Migas dan mengembalikannya kepada Kementerian ESDM dinilainya adalah salah satu pelanggaran. "Fungsinya tetap pengaturan dan pengawasan.
Sementara fungsi pengelolaan itu hanya bisa dilakukan Pertamina," ujar Marwan. Ia menyarankan Pertamina seharusnya didorong menjadi nonlisted public company agar ada transparansi di tubuh Pertamina.