EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah mengekspor gas alam cair dari Kilang Tangguh, Papua Barat ke pembeli Korea Selatan (Korsel), Korea Gas (Kogas) patut dipertanyakan. Karena, langkah tersebut tidak sesuai dengan komitmen pasokan gas ke pasar domestik.
"Sudah sering dikatakan akan memprioritaskan kebutuhan gas dalam negeri, tapi kenyataannya berbeda," kata pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Ahad (3/2).
Hal senada dikemukakan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Achmad Rilyadi. Menurut dia, pemerintah memang belum serius memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri.
Menteri ESDM Jero Wacik, lanjutnya, pernah menjanjikan akan memutuskan alokasi gas untuk dalam negeri sebelum akhir tahun 2012. "Namun, sampai sekarang belum keluar juga keputusan soal alokasi itu," katanya.
Pri Agung menambahkan, meski ekspor ke Korea tersebut hanya sampai 2016 atau sampai beroperasinya sejumlah terminal penerima LNG di dalam negeri, namun semestinya pemerintah memberi kepastian pasokan gas terminal domestik terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk mengekspornya.
Saat ini, sejumlah fasilitas terminal LNG belum memperoleh kepastian gas. Di antaranya, terminal LNG terapung di Lampung (FSRU) yang akan dibangun PT PGN Tbk, FSRU Jateng yang dibangun PT Pertamina (Persero), tambahan pasokan FSRU Jakarta yang dikelola PT Nusantara Regas, dan sejumlah FSRU berskala kecil di Indonesia bagian timur yang dibangun PT PLN dan Pertamina.
"Kebijakan ekspor ini menunjukkan pemerintah tidak sensitif dengan kebutuhan gas domestik," ujarnya.
Selain itu, Pri Agung juga mengatakan, sejauh ini, pemerintah tidak terlihat memfasilitasi keinginan pembeli domestik dengan produsen gas. "Komitmen memprioritaskan pasokan ke domestik lebih sering dikalahkan kepentingan dan pragmatisme jangka pendek yaitu demi mendapatkan penerimaan devisa secara langsung," ujarnya.
Namun, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengatakan, alokasi gas untuk domestik akan segera keluar. "Sudah ada di meja Pak Menteri (Menteri ESDM, Jero Wacik). Kami tunggu surat alokasinya," katanya.
Sesuai aturan, Menteri ESDM mengeluarkan surat alokasi peruntukkan gas dan selanjutnya berdasarkan surat alokasi itu, SKK Migas menunjuk penjual gasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bobby Rizaldi mengatakan, komitmen pemerintah memprioritaskan kepentingan domestik mesti diperkuat dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM.
Isinya, harga gas LNG domestik dipatok maksimal sembilan dolar AS per MMBTU. "Permen itulah tanda pemerintah berkomitmen atau tidak," katanya.
Selain juga, lanjutnya, dengan adanya Permen, maka harga LNG domestik tidak dibiarkan sesuai mekanisme pasar (B to B), sehingga tidak terjadi liberalisme gas.
Pemerintah memutuskan untuk mengekspor LNG Tangguh yang sebelumnya untuk Sempra, AS ke Kogas dengan volume 16 kargo per tahun selama 2013-2016. SKK Migas sudah mengeluarkan surat penunjukan kepada BP Berau Ltd untuk menjual LNG Sempra ke Kogas.
Harga gas Sempra ke Kogas memakai formula 14,35 persen dikalikan patokan harga minyak di Jepang (Japan crude cocktail/ JCC) ditambah konstanta 0,5 dolar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Kebijakan ekspor tersebut dilakukan hanya sampai 2016, karena gas selanjutnya akan digunakan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Secara total, volume LNG eks Sempra mencapai 42 kargo per tahun. Selain Kogas, diketahui sejumlah pembeli dari Jepang juga menginginkan gas Sempra tersebut.