EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah menghimbau pasar untuk tidak panik dengan penarikan dana quantitative easing (QE) yang akan dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (the Fed). Menteri Keuangan RI Chatib Basri mengungkapkan yang terjadi dengan adanya QE adalah Indonesia kembali ke ekuilibrium semula.
"Ini proses kembali ke situasi yang normal saat QE belum masuk," ujar Chatib dalam sambutannya pada Seminar dengan tema 'Bagaimana Menggabungkan Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Menghadapi Turbulensi Ekonomi Global' di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (16/9).
Kondisi yang terjadi setelah penarikan QE tidak akan sama dengan masa-masa indah saat QE tersebut masuk. Di tengah situasi seperti itu harus ada langkah yang dilakukan pemerintah melalui sejumlah kebijakan.
Negara berkembang tidak bisa melarang The Fed untuk menarik QE. Namun negara berkembang bisa mengupayakan penarikan QE tidak ditarik langsung 85 miliar dolar AS, kata Chatib. "Mungkin bisa 20 miliar dolar dulu atau 30 miliar dolar sehingga kita bisa antisipasi capital outflow seperti apa," ujar dia.
Ketika QE terjadi Indonesia mendapatkan pukulan yang cukup keras. Namun hal serupa tidak terjadi di Singapura, Malaysia dan Filipina. Hal ini berarti ada persoalan di domestik yang ikut andil memberikan pukulan tersebut.
Dampak domestik adalah defisit neraca transaksi berjalan. Isu ini telah berkembang cukup lama sehingga perlu ada kebijakan perbaikan. Upaya yg dilakukan adalah dengan menaikkan ekspor atau menurunkan impor.
Selain kebijakan tersebut pemerintah bisa melakukan swap lines. "Ketika dibutuhkan uangnya ada. Ini yang kita lakukan pada 2008," kata Chatib. Jika asumsi defisit sebesar 15 miliar dolar AS, Indonesmemerlukan swap lines setidaknya 30-40 miliar dolar agar tidak ada persoalan di ballance payment.
Swap lines dilakukan jika pemerintah tidak membuat kebijakan apapun. Namun demikian pemerintah tentu tidak tinggal diam. Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah paket kebijakan.
Meskipun demikian, di antara negara anggota G20 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggi kedua setelah Cina. International Monetary Fund (IMF) merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,25 persen, Cina 7,5 persen dan India 4,8 persen. Ini berarti pertumbuhan Indonesia masih akan tetap tinggi dibanding negara berkembang lain.