EKBIS.CO, JAKARTA -- Pedoman berupa perjanjian internasional terkait pencegahan terhadap rekayasa alokasi keuntungan (transfer pricing), penggelapan pajak (tax evasion) dan pemindahan keuntungan (profit shifting) yang digagas oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) diyakini akan ditaati oleh seluruh negara anggota G-20, termasuk Singapura. Demikian disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Selasa (24/9).
Bambang menegaskan hal itu menjawab pertanyaan ROL mengenai kemungkinan tidak patuhnya Singapura, salah satu negara yang sengaja menerapkan tarif pajaknya lebih rendah dari negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. "Kenapa dibawa ke G-20 dan OECD? supaya menjadi bahasa internasional. Kalau kita dengan Singapura sekarang, urusannya perdata saja, bilateral. Kalau ini kan konvensi internasional. Jadi, supaya Singapura sadar bahwa bukan hanya kita yang minta, tapi semua minta," ujar Bambang.
Bambang menjelaskan penerimaan pajak dari dalam negeri, khususnya dari pajak badan bisa lebih besar apabila salah satu masalah di atas yakni transfer pricing bisa diatasi. Sebab selama ini, transfer pricing tidak bisa diatasi sebelum adanya kerja sama dengan negara lain. "Tidak bisa kita sendiri yang menentukan. Susah, harus benar-benar antarnegara," ungkapnya.
Bambang mencontohkan, transfer pricing yang kerap dilakukan oleh perusahaan dengan sistem 'jual rugi' yang berujung pada pembukuan yang merugi. "Akibatnya, tidak perlu bayar pajak. Singapura kerap diuntungkan karena sering menawarkan tarif pajak yang bisa dinegosiasi," kata Bambang.
Praktek tersebut jelas berbeda dengan tarif pajak badan di Indonesia sebesar 20 sampai 25 persen yang berlaku tanpa pengecualian. Pada akhirnya, Singapura memperoleh keuntungan berupa uang dari pajak dan bisnisnya. Sementara Indonesia, menurut Bambang, hanya kebagian tenaga kerja tanpa pemasukan dari pajak.
Terkait pedoman berupa perjanjian yang tengah digodok OECD, Bambang mengatakan negara-negara G-20 harus menerapkannya. Terlebih masing-masing negara memiliki concern dengan negara-negara yang berbeda. Sebagai contoh, Inggris concern dengan tarif pajak lebih rendah yang diterapkan Irlandia dan Luxemburg, Amerika Serikat dengan Kepulauan Cayman dan Indonesia dengan Singapura dan Hongkong. "Nah, nanti masing-masing negara itu dengan pedoman menerapkannya," kata Bambang.
Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah praktek-praktek penghindaran pajak dan mengurangi dampak dari negara-negara tax haven. Adanya negara-negara tax haven, telah membuat perusahaan-perusahaan multinasional memilih untuk berinvestasi di sana. "Negara-negara G-20 sepakat ini harus dibereskan," kata Bambang.