Jumat 04 Apr 2014 13:57 WIB

Jelang MEA 2015, Pengusaha Kayu Minta Kepastian Kenaikan Upah

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor Kayu Indonesia - ilustrasi
Foto: antara
Ekspor Kayu Indonesia - ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketidakpastian terhadap kenaikan upah bisa menjadi ganjalan yang memngganggu ketika menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (Asean Economy Community/AEC). Pemerintah diminta mempersiapkan hal ini sebelum kita benar-benar masuk dalam era tersebut.

Direktur Integra Grup, Halim Rusli mengataakan tanpa kepastian mengenai hal ini, industri kayu akan sulit bersaing dengan kompetitor global. Selama ini kenaikan uph dianggap tidak terukur sehingga menyulitkan pengusaha dalam membuat rencana bisnis yang cermat. "Harus ada kepastian berapa persen kenaikan upah setiap tahun, sehingga kami mudah membuat perhitungan," katanya Jumat (4/4).

Ia mencontohkan apa yang terjadi di negara yang industri kayunya maju seperti Vietnam dan Cina. Kepastian menangani upah membuat industri bisa membuat rencana secara kompherensif, sehingga bisa berkembang dengan cepat. Dari segi bahan baku, kayu yang ada di Indonesia begitu melimpah. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada juga dinilai cukup unggul.

Namun ia mengakui ada sedikit ganjalan sosial untuk SDM di daerah. Di Sumatera dan Kalimantan misalnya, meskipun bahan baku kayu melimpah, maraknya konflik sosial membuat pengusaha enggan mengembangkan bisnis kayu disana. "Biasanya konflik sosial di luar Jawa sangat keras. Kalau kerja, demo, kerja, demo, tidak cocok juga sama kita (pengusaha)," katanya.

Produk furnitur Indonesia menurutnya mempunyai peluang besar menembus pasar global. PT Integra, misalnya, sebanyak 90 persen produknya diekspor ke banyak negara, terbesar ke Amerika Serikat. Nilai ekspor pasa kuartal pertama tahun ini ke Amerika mencapai 30.722 dolar AS dengan volume 5.360.04 kilogram.

Negara Vietnam pun dikatakan menjadi pesaing terberat saat ini, selain Cina. Namun sejak keberadaan Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK) diluncurkan, peluang Indonesia makin terbuka lebar, khususnya ke Amerika Serikat. Eksportir  Vietnam  dikatakan masih terkena pajak untuk mengimpor ke AS. Sedangkan Indonesia sudah dibebaskan.

Direktur Bina Pengolahan dan Pengawasan Hasil Kehutanan, Dwi Sudarto mengatakan banyak negara tertarik untuk mempelajari mengenai SVLK milik Indonesia. Apalagi setelah pengusaha melaporkan ada kenaikan permintaan kebutuhan kayu dari Indonesia. "Di Amerika importir yang beli kayu dari Indonesia bahkan ada yang mendapatkan cash back dari negaranya," kata dia.

Indonesia menurut dia juga telah didekati Vietnam untuk berinvestasi terkait industri kayu. Banyak negara yang tengah mempersiapkan diri sebelum Uni Eropa memberlakukan due dilligent yang berarti ada penambahan biaya bagi eksportir yang tidak mampu menjelaskan asal-usul produknya.

SVLK mulai diberlakukan sejak tahun 2009 dan berlaku efektif mulai Januari 2013. Proses pembuatan SVLK melibatkan asesor independen dan pemantau dari Lembaga Sosial Masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement