EKBIS.CO, JAKARTA—Wacana pemerintah yang akan menerapkan konsep uang elektronik (e-money) untuk mendistribusikan bantuan beras miskin (raskin) pada awal 2015 dinilai tidak tepat. Kebijakan disulut oleh realita penyaluran raskin di masyarakat yang kerap tidak tepat sasaran dari segi jumlah, harga dan kualitas.
“Penerapan e-money raskin adalah kebijakan yang selemah-lemahnya iman,” kata peneliti dari Universitas Andalas John Farlis dalam diskusi publik yang diselenggarakan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) bertajuk “Stop Liberalisasi Beras” pada Senin (15/12).
Selain belum adanya kesiapan dari pemerintah dari segi penyediaan infrastruktur e-money, sosialisasi kepada masyarakat pun akan memakan waktu yang panjang. Sementara, kebutuhan beras harus terpenuhi setiap hari. Maka, untuk kebutuhan yang urgen tersebut, pemerintah tidak bisa mengandalkan program yang menurutnya tambal sulam.
E-money, lanjut dia, cocok untuk mendukung program yang setara, misalnya dalam memperbesar penerimaan BLT dan BSM kepada masyarakat. “Uang ditambah uang, beras tidak bisa diganti dengan uang,” paparnya.
Daripada mengurusi yang elektronik maupun kartu-kartu, ia menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan fungsi bulog agar lebih bagus lagi dalam menyalurkan beras ke masyarakat. Di samping itu, aspel produksi harus lebih digenjot, agar Indonesia memiliki keamanan persediaan pangan tanpa perlu melakukan impor besar-besaran ke depannya.
Petani juga harus selalu didukung dengan cara pemberian insentif. Di mana, pemerintah bertanggung jawab akan pemenuhankebutuhan mereka ketika bertani.
“HPP juga urgen dinaikkan di atas Rp 6.600, tapi saya belum melakukan perhitungannya,” kata dia. Sebab, kenaikan harga BBM berdampak pada peningkatan biaya kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya pendukung penanaman padi bagi petani.