Senin 26 Jan 2015 22:39 WIB

Pengamat: Batalkan MoU dengan Freeport

Rep: C85/ Red: Bayu Hermawan
?Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
?Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menandatangani perpanjangan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) amandemen Kontrak Karya (KK) Freeport untuk 6 bulan ke depan.

Perpanjangan dilakukan karena Pemerintah RI dan Freeport gagal menuntaskan renegosiasi KK sesuai perintah UU Minerba No.4/2009 dalam jangka waktu 6 bulan sejak MoU ditandatangani pada 25 Juli 2014 yang lalu.

Menanggapi hal tersebut, pengamat energo sekaligus Ketua IRESS Marwan Batubara meminta agar perpanjangan MoU tersebut segera dibatalkan, berdasarkan beberapa hal.

"Pada dasarnya, sejak semula,  MoU yang ditandatangani pada 25 Juli 2014 itu telah bertentangan dengan perintah Pasal 170 UU Minerba No.4/2009 yang menyatakan Freeport harus melakukan proses pemurnian atas produksi konsentrat," jelasnya, Senin (26/1).

Ia melanjutkan, pemerintah telah melanggar UU Minerba dengan memberi relaksasi kepada Freeport karena belum dapat melakukan pemurnian dan gagal membangun smelter.

Sementara itu, komitmen Freeport untuk membangun smelter hanya didasarkan pada perjanjian sewa-menyewa lahan dengan Petrokimia Gresik yang tidak memberikan rasa keadilan kepada pelaku usaha yang sudah taat kepada UU Minerba dan telah membangun smelternya, termasuk oleh BUMN milik bangsa sendiri seperti PT ANTAM.

"Perpanjangan MoU tersebut harus didasari pada hasil studi kelayakan yang komprehensif, oleh Freeport, tentang mengapa smelter harus dibangun di Gresik beserta dampak positifnya terhadap kondisi sosial dan eonomi masyarakat sekitar. Sangat janggal dan naif sekali jika peranjangan MoU hanya didasari oleh sekedar perjanjian sewa-menyewa lahan," jelasnya.

Di samping itu, Marwan menilai isu tentang Freeport menyangkut kepentingan negara untuk menegakkan kedaulatan dan martabat serta harga diri bangsa. Marwan menegaskan, ketegasan pemerintah terhadap Freeport harus diutamakan dibanding pertimbangan finansial, maupun berkurangnya pendapatan negara karena ekspor konsentrat dilarang.

"Apalagi pertimbangan finansial tambang Freeport lebih banyak menguntungkan Freeport," katanya.

Karena itu Marwan menilai pemerintah mestinya lebih mengutamakan penegakan hukum dan menjalankan perintah UU, serta memberi contoh kepatuhan terhadap UU, dibanding justru melanggar UU yang dibuat sendiri bersama DPR.

Besarnya investasi yang akan dilakukan oleh Freeport, ujar Marwan, sekitar 15 miliar USD dan juga rencana Freeport untuk "membangun" Papua, tidak dapat menjadi faktor penentu yang dapat menjadi alasan bagi pemerintah untuk seenaknya melanggar UU Minerba yang berlaku saat ini.

"IRESS sangat mendukung terlaksananya pembangunan Papua, dan hal ini merupakan salah satu tugas penting pemerintah, namun masalah ini tidak termasuk dalam 6 butir utama renegosiasi kontrak yang diperintahkan UU Minerba No.4/2009," ujarnya.

Oleh sebab itu Marwan menyatakan bahwa Freeport telah gagal memenuhi komitmen yang disepakati dalam MoU 25 Juli 2014. Lebih dari itu, pemerintah dan Freeport bersama-sama telah melanggar perintah UU Minerba No.4/2009.

Perpanjangan MoU ini sekali lagi membuktikan bahwa Pemerintah RI telah mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam bagi sbesar-besar kemakmuran rakyat.

"Hal ini menjelaskan pula bahwa sejak semula Freeport memang tidak mempunyai iktikad baik untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga menganggap dapat berbuat sesuka hati atas hak dan kedaulatan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, perpanjangan MoU amandemen KK Freeport harus segera dibatalkan demi hukum dan ijin ekspor mineral mentahnya pun dicabut," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement