EKBIS.CO, JAKARTA -- Industri keramik nasional sulit berkembang, karena tingginya hantaman produk impor dan biaya energi yang mahal. Padahal, industri keramik dalam negeri memiliki potensi besar untuk merajai pangsa pasar ekspor di Asia Tenggara.
Executive Director PT. Muliakeramik Indahraya Clemens D. Suryadi mengatakan, berdasarkan data dari Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), pada 2014 lalu total produksi keramik dalam negeri sekitar 420 juta meter persegi. Dengan konsumsi keramik per kapita sebesar 1,65 meter persegi. Angka ini masih kecil jika dibandingkan dengan konsumsi keramik di Malaysia yang mencapai 3 meter persegi per kapita.
"Kita diberikan banyak beban di dalam negeri, mulai dari harga gas tinggi, suku bunga naik, dan membanjirnya produk impor," ujar Clemens, Ahad (1/3).
Menurut Clemens, industri keramik nasional sudah sangat kompetitif dan memiliki pangsa pasar ekspor yang bagus diantaranya di Asia Tenggara, Srilangka, Korea Selatan, Mauritius, dan Yaman. Akan tetapi, industri keramik dalam negeri masih sulit bersaing dengan Cina karena negara tersebut di dukung oleh biaya produksi yang murah. Akibatnya, harga keramik dari Cina lebih murah 20 persen ketimbang harga produk lokal.
Di tengah gempuran produk asing, produsen keramik nasional kesulitan meningkatkan kinerja ekspor karena mendapatkan perlakuan dumping dari India dan Filipina. Menurut Clemens, India merupakan salah satu negara yang memiliki potensi ekspor sangat bagus karena populasi penduduknya besar. Akan tetapi, India sangat protektif dalam menjaga industri dalam negerinya sehingga sulit untuk ditembus.
"Pemerintah harus meninjau kembali SNI, karena tujuan awalnya SNI dibuat untuk memblokade produk impor, tapi kenyataannya di lapangan impor dari cina tetep masuk terus," kata Clemens
Clemens mengatakan, agar industri keramik lebih berkembang, peningkatan kinerja tidak bisa hanya dilakukan oleh perusahaan saja. Namun pemerintah juga harus terus memberikan dukungan dengan kebijakan yang memudahkan.