EKBIS.CO, JAKARTA - Sistem keamanan cyber di Indonesia disorot dunia. Pasalnya, tiga bank besar di dalam negeri dibobol sebuah sindikat dan berhasil membawa kabur dana nasabah yang disebut hampir Rp 130 miliar.
Mantan kepala tim Lembaga Sandi Negara untuk IT Kepresidenan Pratama D. Persadha menilai, kasus ini terjadi lantaran kelalaian pada kedua pihak, yaitu nasabah dan pihak bank. Pratama menilai, dalam menjaga keamanan transaksi seharusnya nasabah memiliki kesadaran untuk mengunduh aplikasi dan memasuki yang dia yakini aman.
Sayangnya, lanjut Pratama, tidak semua nasabah sudah terbekali kemampuan IT yang baik. "Nah, dengan begitu bank seharusnya antisipasi. Harusnya bank buat sistem transaksi yang secure," jelas Pratama, Rabu (15/4).
Dia mengambil contoh, perbankan seharusnya tidak melakukan atau meloloskan transaksi apabila terautensifikasi transaksi dilakukan oleh user atau nasabah yang tidak valid.
Yang menjadi masalah, lanjutnya, apabila nasabah melakukan internet banking dan di tengah jalan disadap, sedangkan transaksi yang dilakukan bentuk plain. Pratama menjelaskan, plain artinya adalah transaksi yang bisa dibaca dengan mata manusia.
Dia memisalkan, pelaku cyber crime bisa saja membalikkan nomor rekening tujuan dari "354" menjadi "345". "Setelah diubah, baru pelaku lanjutkan ke bank. Harusnya bank tanggung jawab. Karena ini kesalahan dari bank, kenapa dia tidak membuat sistem yang secure?" ujar Pratama.
Untuk itu, Pratama mendesak agar bank menyiapkan edukasi kepada kostumer atau nasabah untuk memberikan aplikasi perbankan yang aman.