EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan carut marutnya tata kelola migas di dalam negeri lantaran pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak optimal.
Marwan juga mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menentukan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terkadang dijadikan sebagai kendaraan politik.
"Jangan manfaatkan isu ini sebagai politik. PDIP selama 10 jadi oposisi, selalu menolak. Tapi giliran memimpin berbeda," katanya di Jakarta, Jumat (12/6).
Ketidakjantanan pemerintah dalam menghadapi harga BBM juga, ia katakan membuat Pertamina merugi.
"Pemerintah tidak ksatria, katanya sudah harga keekonomian, nah itu ingin dijalankan Pertamina, tapi dilarang naik karena takut diprotes," ujarnya.
"Pada 20-21 Mei ada gerakan mahasiswa, Pertamax sudah siap naik tapi digagalkan karena masalah politik, Jokowi minta tak dinaikan akibatnya Pertamina jadi rugi," jelasnya.
Menurutnya jika sudah menyerahkan sepenuhnya pada harga keekonomian maka tidak ada urusan dengan pemerintah. Hal serupa juga terjadi pada harga LPG 12 Kg.
"Ini barang untuk orang mampu, harga harus naik, kalau tidak akan melanggar karena BUMN tidak boleh rugi tapi pada gugat Pertamina, nah disini kita lihat inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan aturan. Kalau mau subsdi yah sudah, tapi kalau mau harga keekonomian ya kudu konsisten," jelasnya lagi.
Perihal BBM dengan harga keekonomian, ia mengaku sah-sah saja asalkan saat yang bersamaan juga terapkan pola subsidi langsung, artinya orang yang tidak mampu akan dapat subsidi dari pemerintah.
Hal ini ia katakan lebih bermanfaat dibanding jika harus mensubsidi barang dimana keuangan negara juga terbatas dan justru melakukan utang hanya untuk mensubsidi sekitar 70 persen orang yang mampu.
Ia juga menyoroti semakin besarnya subsidi yang dilakukan pemerintah sedangkan disaat bersamaan Indonesia belum dapat mengoptimalkan sektor energi baru terbarukan.