Kadri Liik, pakar Rusia di Badan Eropa untuk Urusan Luar Negeri, menyebut Rusia menggunakan "cara lama yang familiar", yaitu cara umum untuk "menghukum" negara-negara, terutama pada masa pasca-Soviet, yang membuat kesal Rusia. Alhasil, lembaga konsumen Rusia, Rospotrebnadzor, dan pejabat pemerintah sering harus menjelaskan bahwa larangan yang diterapkan tidak bermotif politik.
Saat impor permen dan cokelat dari Ukraina dihentikan pada 2013, termasuk dari perusahaan milik Presiden Ukraina Petro Poroshenko, wakil ketua parlemen Vadim Solovyov membela langkah tersebut. "Kami melarang impor makanan yang tidak memenuhi standar dan persetujuan yang kami miliki," katanya, seperti dikutip Russia Today.
Rusia membalas sanksi Barat tentang krisis Ukraina dengan melarang sebagian besar impor makanan dari negara-negara Uni Eropa, Australia, Kanada, Norwegia, dan AS pada Agustus tahun lalu.
Rusia kemudian memperluas larangan sampai ke Eslandia, Liechtenstein, Albania, dan Montenegro pada Agustus ini, dan mengancam Ukraina masuk dalam daftar. Penghancuran makanan yang dilarang, seperti keju, bacon, dan buah, memicu kemarahan juru kampanye antikemiskinan.
Tahun lalu, penutupan beberapa cabang McDonald's karena tuduhan "pelanggaran kebersihan" membuat banyak warga Rusia bingung, termasuk pemilik waralaba asal AS yang mengatakan bahwa restoran mereka dianggap sebagai standar restoran lokal.
Dengan meningkatkan larangan pada makanan Turki, Rusia menggunakan keamanan makanan untuk menunjukkan kemarahan pada negara lain. Namun di saat bersamaan, Liik mengatakan, "Ini menunjukkan Rusia berusaha menjaga perdebatan di level bilateral" untuk menghindari peningkatan ketegangan.
Dalam hal ini, pertengkaran yang melibatkan tomat lebih baik daripada roket.