EKBIS.CO, JAKARTA -- Pembiayaan pengalihan utang dan piutang (take over) merupakan satu jenis pembiayaan yang banyak dipraktikkan perbankan syariah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan pembiayaan take over senantiasa ada, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan bisnis.
Pembiayaan take over seringkali tidak berdiri sendiri, melainkan selalu diiringi dengan refinancing (top up). Fatwa-fatwa ekonomi syariah tentang pengalihan utang dan take over juga terus berkembang di Indonesia. "Selama ini praktik take over hanya dari bank konvensional ke bank syariah, namun sekarang telah diatur take over dan pengalihan utang sesama bank syariah," ujar Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Indonesia Agustianto Mingka, Senin (29/2).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) juga sudah mengeluarkan ketentuan atau fatwa tentang desain-desain akad pengalihan utang dan piutang antar bank syariah. Saat ini juga terjadi take over dari bank induk konvensional ke unit usaha syariah (UUS). Namun, kata Agustianto, praktik ini menuntut kajian legal apakah harus dilakukan roya pasang atas jaminan dan bagaimana pula desain akadnya. Perlu diketahui bahwa take over yang ada selama ini hanyalah take over atas kredit bank konvensional yang memiliki aset. Padahal dalam banyak kasus, take over juga terjadi terhadap modal kerja, rekening koran, underlying asset yang sudah tidak ada lagi, kredit multijasa, hingga kartu kredit konvensional.
Selain take over, refinancing adalah salah satu produk yang perlu dikembangkan perbankan syariah. DSN MUI juga sudah mengeluarkan fatwa syariah tentang refinancing melalui fatwa No 89/2014. Setidaknya terdapat tujuh model refinancing yang perlu dipahami dan dikembangkan bank-bank syariah dan dipahami para pelaku perbankan syariah. Sumber daya insani perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah (LKS) seperti multifinance syariah dan baitul mal wa tamwil (BMT) perlu mengetahui teori, praktik dan isu-isu terbaru terkait take over dan refinancing syariah.