Ahad 03 Apr 2016 19:36 WIB

Metode Ini Dinilai Tepat Takar Harga Saham Freeport

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah hingga kini belum mengemukakan hasil valuasi divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia. Meski sudah ada tim khusus yang beranggotakan lintas kementerian dan lembaga untuk merumuskan berapa besaran yang pas untuk divestasi Freeport ini, tim tersebut masih terhambat belum keluarnya Surat Keputusan (SK) dari pemerintah.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mohammad Hidayat menjelaskan, keputusan divestasi oleh perusahaan mineral dan pertambangan lainnya juga melalui pembahasan oleh tim khusus. Karenanya, kata dia, hasil valuasi penawaran divestasi saham oleh Freeport juga baru keluar setelah SK resmi turun.

Hidayat mengatakan, meski belum ada SK tak lantas tim tidak bekerja. Beberapa pembahasan yang sudah dilakukan di antaranya adalah metode penghitungan aset PT Freeport Indonesia. Untuk menakar apakah penawaran harga divestasi saham PT Freeport terlampau mahal atau tidak, ia menilai lebih baik menggunakan metode replacement cost atau biaya penggantian.

Sebelumnya, banyak pihak yang menilai bahwa penawaran divestasi saham oleh PT Freeport senilai 1,7 miliar dolar AS terlampau mahal. Tim, kata Hidayat, sedang mengkaji asumsi apa saja yang dipakai Freeport sehingga keluar angka tersebut, dan pertimbangan metode yang akan digunakan oleh tim.

Metode replacement cost, kata Hidayat, akan mumudahkan penghitungan karena berdasarkan perhitungan saham wajar didasarkan pada nilai investasi yang telah dikeluarkan hingga saat penawaran saham dilakukan. Metode ini, mengabaikan nilai investasi yang bakal dilakukan Freeport. Metode ini bersandar pada nilai aset yang dimiliki Freeport, bukan pada market value atau nilai pasar.

Hidayat menambahkan, penggunaan market value tidak akan menelurkan kesepakatan yang sama, karena  dinilai akan banyak asumsi yang berbeda dari setiap pihak.

"Justru kalau pakai replacement cost lebih mudah ngitungnya. Lebih sederhana karena hanya menghitung semua aset yang ada, misalnya dia beli peralatan apa. Dibandingkan dengan misalnya market value, yang pakai asumsi-asumsi. Kita sepakat apa nggak asumsi itu. Padahal setiap orang asumsinya beda-beda," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement