EKBIS.CO, JAKARTA -- Panama Papers mengungkap praktik gelap ribuan perusahaan siluman dan perilaku ribuan orang super kaya di seluruh dunia dalam pengelolaan keuangannya.
Panama adalah salah satu negara surga pajak sehingga kuat dugaan bahwa mereka sedari awal punya rencana melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (tax avoidance/tax evasion). Panama hanya satu dari puluhan negara tax haven yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.
Banyak pengusaha dan elit Indonesia yang masuk daftar dalam Panama Papers. Hal ini mengkonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelapan pajak telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia dalam mobilisasi penerimaa pajak untuk pembiayaan pembangunan. Panama Papers juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak Indonesia yang “menguap” jumlahnya sangat besar.
"Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak. Hal ini harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak dan praktik pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum, '' kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa.
Ia mendesak Presiden segera membentuk Gugus Kerja Anti Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang kredibel. Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lainnya.
Panama Papers juga menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global. “Sistem ekonomi harus segera dilakukan penataan ulang. Indonesia perlu mempelopori perubahan tata kelola keuangan global terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan.
Presiden Jokowi dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut. Selain itu, Jokowi dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa”, tegas Khoirun Nikmah, Program Manager International NGO for Indonesia Development (INFID).
Merujuk Global Financial Integrity/GFI (2015) melaporkan bahwa setiap tahun negara berkembang kehilangan sebanyak satu trilyun dolar Amerika Serikat akibat korupsi, penggelapan pajak dan pencucian uang. Potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram tiap tahun diprediksi oleh GFI jumlahnya hampir Rp 200 Triliun tiap tahunnya.
“Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (kelompok kaya, superkaya, dan korporasi), tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayaan keuangan keuangan yang rumit, rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia”, tambah Dadang Trisasongko, Sekretaris Jendral, Transparency International Indonesia (TII).