EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mencatat realisasi serapan unsur biodiesel sampai Juni lalu sebesar 1,4 juta kiloliter (KL). Angka ini baru 16,5 persen dari mandatori pencampuran biodiesel sebesar 20 persen pada tahun ini.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Rida Mulyana menuturkan, dengan realisasi konsumsi solar pada semester pertama lalu, 8,5 juta KL dan biodiesel hanya 1,4 juta KL, maka porsi campuran biodiesel baru 16,5 persen.
"Rendahnya capaian ini disebabkan oleh masih minimnya realisasi pencampuran biodiesel untuk solar subsidi," kata Rida melalui siaran pers, Jumat (2/9).
Tercatat, serapan solar subsidi sampai Juni lalu sebesar 6,5 juta KL dan biodiesel 1,23 juta KL. Sehingga, realisasi campuran biodiesel telah mencapai 19 persen. Namun untuk solar non subsidi, serapan biodiesel hanya 167 ribu KL dari konsumsi solar 2 juta KL.
Rendahnya serapan biodiesel untuk solar nonsubsidi, jelas dia, disebabkan oleh besarnya selisih harga solar dan biodiesel pada Mei-Juni. Pada Juni lalu misalnya, harga biodiesel tercatat mencapai Rp 8.737 per liter, sementara harga solar hanya Rp 3.362,23 per liter. Sehingga selisih harga dua jenis bahan bakar ini mencapai Rp 5.374,77 per liter. Tetapi pada Agustus ini selisih harga solar dan biodiesel sudah berkurang menjadi sekitar Rp 3.000-4.000 per liter.
Sampai akhir tahun nanti, serapan biodiesel ditargetkan mencapai sekitar 6,6 juta KL. Dengan rincian, target serapan untuk biodiesel bersubsidi sebesar 3,6 juta KL dan nonsubsidi 3 juta KL. Jika dibandingkan target ini, maka realisasi serapan biodiesel bersubsidi 1,23 juta KL baru 34,16 persen dari target dan biodiesel nonsubsidi 167 ribu KL hanya 5,57 persen.
"Seerapan biodiesel pada 2016 ini juga jauh lebih baik dari 2015. Pada tahun lalu, konsumsi biodiesel tercatat hanya 375 ribu KL lantaran subsidi baru dikucurkan mulai September. Konsumsi bulanan biodiesel pada awal 2015 hanya 72 ribu KL dan naik menjadi 117 ribu KL setelah ada Dana Sawit untuk subsidi," katanya.