EKBIS.CO, JAKARTA -- Sejumlah industri mulai mengeluh karena harga gas yang digunakan sebagai energi maupun bahan baku produk masih mahal. Padahal industri-industri tersebut berharap penurunan harga gas agar produk yang dijual bisa bersaing dengan negara lain yang memproduksi produk serupa.
Direktur Jenderal Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit mengatakan, industri yang memanfaatkan gas untuk berproduksi memang 'menjerit' karena harga produksi mereka terus melejit. Padahal sejumlah negara lain memiliki harga gas lebih rendah, sehingga produksi barang yang dihasilkan bisa lebih rendah.
"Kita minta harga gas ini di bawah 6 dolar AS per Mmbtu, karena harga 6 dolar AS ini masih lebih tinggi dari harga gas internasional yang sudah 4,5 dolar AS per Mmbtu," kata Sigit di kantornya, Jakarta, Selasa (13/9).
Menurut Sigit, meski pemerintah bakal melakukan penurunan harga gas ke 6 dolar AS per Mmbtu, industri dalam negeri yang menggunakan energi ini tetap tidak bisa bersaing dalam hal usaha. Sigit mencontohkan, harga gas di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pun telah berada di angka 4-5 dolar AS per Mmbtu.
"Ini kita minta secepatnya untuk diturunkan, karena sektor industri mengalami kerugian terus," kata dia.
Menurut Sigit, Kementerian Perindustrian telah mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera memutuskan harga penurunan gas. Sayang permintaan ini belum juga terpenuhi.
Jika KemenESDM tidak bisa menurunkan harga gas, dia mengatakan artinya pemerintah harus mencari taktik lain agar produk industri dalam negeri bisa berdaya saing dengan negara lain. Hal yang bisa dilakukan pemerintah yaitu melakukan kemudahan dalam hal perpajakan atau insentif lainnya.
"Industri lain yang menggunakan gas sebagai energi mungkin bisa. Tapi kalau gas sebagai bahan baku seperti industri pupuk, itu susah," ujarnya.