EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai salah satu visi Nawacita yakni kemandirian ekonomi, belum terwujud selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketidakmampuan Indonesia mengatasi permasalahan ekonomi dalam negeri dapat dilihat dari tiga sektor yakni pangan, energi, dan produk konsumsi atau manufaktur.
"Beras tahun lalu kita masih impor senilai 351 juta dolar AS, sedangkan pada Januari sampai Juli 2016 kita sudah impor sejumlah 477 dolar AS. Bisa diprediksi nilai impor beras Indonesia akan terus meningkat sampai akhir tahun," kata peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus, Kamis (20/10).
Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan Global pada 2016, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 113 negara yang disurvei, sementara Malaysia peringkat 35, Thailand peringkat 51, dan Vietnam peringkat 57. Dalam sektor energi, Badan Pusat Statistik mencatat volume impor migas terus meningkat 0,67 persen dari 36.394 ton pada Januari-September 2015 menjadi 36.639 ton pada periode yang sama 2016. Impor migas didominasi hasil minyak sebesar 18.008 ton atau 15,81 persen dari total impor Indonesia pada 2016.
"Neraca energi kita sangat miris karena sebagai negara penghasil energi seperti batu bara dan gas alam, Indonesia justru mengimpor energi olahan seperti LNG. Sebanyak 70-80 persen gas alam mentah diekspor ke luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita harus impor LNG," ujar Heri.
Selain ketergantungan terhadap impor pangan dan energi, pasar Indonesia semakin diserbu oleh produk industri negara lain. Temuan ini ditunjukkan dengan melonjaknya impor barang konsumsi yang meningkat 12,08 persen sepanjang Januari-September 2016, sementara impor bahan baku dan barang modal menurun masing-masing 9,8 persen dan 12,6 persen.
"Penurunan impor bahan baku dan barang modal harus dicermati, ini artinya ada dugaan bahwa industri manufaktur Tanah Air mengalami kontraksi atau perlambatan. Hal ini dikonfirmasi dengan ekspor hasil industri yang turun 9,41 persen," papar Heri.
Indef juga menyoroti lemahnya strategi atau kebijakan pengamanan pasar domestik yang tercermin dari kuantitas hambatan non-tarif (NTM). Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Cina yang masing-masing memiliki 4.780 dan 2.194 jenis NTM, Indonesia jauh lebih sedikit dengan hanya 272 jenis NTM sehingga aliran impor barang konsumsi cenderung deras dan daya saing industri domestik menjadi lemah.
"Kita harus mengamankan pasar domestik untuk membela produsen dalam negeri yang jumlahnya sangat banyak. Jangan sampai pengusaha manufaktur beralih jadi pedagang atau importir," tutur Heri.