Rabu 11 Jan 2017 17:00 WIB

Cerita Menteri PPN Dengarkan 'Hobi' Mengeluh Kepala Daerah

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro

EKBIS.CO, JAKARTA -- Keluhan kepala daerah yang kekurangan anggaran dari pusat kerap didengar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro. Kepala daerah juga mengeluhkan minimnya program skala nasional yang dilakukan di daerahnya. Bahkan, keluhan itu tidak hanya ia dengar sewaktu menjabat sebagai Menteri Keuangan. Keluhan itu seperti menjadi "hobi" bagi kepala daerah dan terus terdengar saat Bambang menjabat Menteri PPN.

Bagi Bambang, kepala daerah yang "hobi" berkunjung ke kantornya justru tergolong yang minim melakukan inovasi. Bambang memandang, kepala daerah yang terbilang jarang berkunjung ke pusat justru dipandang sebagai pimpinan daerah yang secara aktif melakukan inovasi dan menjalankan pembangunan di daerah.

Menurut Bambang, pemerintah daerah dituntut untuk bisa melakukan inovasi secara mandiri agar pembangunan daerah bisa sejalan dengan pembangunan nasional. Ujungnya, kata Bambang, adalah peningkatan kesejahteraan yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran. "Jangan sampai daerah yang punya kewajiban menyejahterakan masyarakat, malah melimpahkan sepenuhnya ke pusat. Tak sedikit daerah berharap pusat berikan anggaran dan buat program. Yang terpenting, daerah ikut terlibat untuk inovasi dan sejahterakan masyarakatnya," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Rabu (11/1).

Bambang mengatakan, pemerintah daerah harus mempertimbangkan kearifan lokal dan budaya setempat dalam melakukan inovasi di daerahnya. Dalam konteks otonomi daerah, kata Bambang, pengutamaan atas karakteristik lokal dalam melakukan inovasi bisa menjadi modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tak hanya, kreativitas seorang pimpinan daerah juga diyakini bisa membangun iklim kompetisi antardaerah.

Selain itu, Bambang juga mengingatkan kepala daerah untuk tak mengesampingkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di samping pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara masif. Alasannya, SDA yang berlimpah suatau saat tetap ada limitasi yang menahan pemanfaatannya bila tak diimbangi pengembangan manusia yang berkompeten.  "Kalau kita bicara soal inovasi, kita lihat dua hal, yakni SDA dan SDM. Bicara SDA tentu tak jadi keraguan bahwa Indonesia kaya, selalu jadi pertanyaan kenapa hanya SDA yang berlimpah, namun belum bisa menyejahterakan sebagian masyarakat kita,” ujar Bambang.

Apalagi, ia menilai bahwa SDA termasuk komoditas pertambangan, perkebunan, dan pertanian akan mengalami fluktuasi seiring dengan perkembangan permintaan dan pasokan di pasar dunia. Belajar dari pengalaman pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia di era 1970-an, Bambang mengatakan, Indonesia sempat mengeruk keuntungan besar-besaran di sektor migas sejalan dengan lonjakan harga minyak dunia saat itu. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama hingga periode 1980-an saat harga minyak dunia anjlok.  “Tetapi kemudian tahun 1980-an ketika tak ada isu embargo, mendadak pasokan lebih banyak dari permintaan sehingga sempat drop di bawah 10 dolar AS dan APBN saat itu tak sustain karena kekurangan sumber penerimaan," katanya.

Bambang menambahkan, surutnya penerimaan dari sektor migas saat itu membuat pemerintah melakukan reformasi pajak yang pertama. Hal ini juga mendorong kesadaran pemerintah untuk melakukan diversifikasi ekonomi. Tahun 1990-an Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang masa. Dari 1990-1997 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi enam sampai tujuh persen, didukung oleh manufaktur.

Bupati Banyuwangu Abdullah Azwar Anas mengakui pentingnya inovasi pemimpin daerah dalam mendorong berkurangnya ketimpangan dan kemiskinan. Abdullah menyebutkan, gini rasio di Banyuwangi di bawah kepemimpinanya mampu ditekan dari 0,33 persen menjadi 0,29 persen. Salah satu jurus yang dilakukan pemerintah saat ini adalah menahan laju pembangunan pusat perbelanjaan modern yang bisa menggeser pasar tradisional. Alasannya sederhana.

Abdullah beranggapan bahwa operasional mal hanya sebatas simbol kemajuan kota besar tanpa memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan kota. "Bersamaan, tapi kami bangun bandara kami dikritik dianggap tak pro rakyat, karena bandara dianggap pro kapitalis. Tapi kami pilih, tanpa bandara tidak ada investasi," ujar Abdullah.

Sementara itu, Walikota Makassar Moh Ramdhan Pomanto menambahkan bahwa pembangunan yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah adalah pembangunan yang menyasar ke masyarakat miskin. Karena menurutnya, tantangan terberat di daerah masih kemiskinan. "Dari program-program inovasi yang kita buat, pertumbuhan ekonomi kita patok naik dari 7,4 persen ke 8 persen," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement