Sofyan menjelaskan, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebetulnya juga mengharuskan pemilik hak pakai untuk mengalokasikan 30 persen dari luas pulau untuk kawasan lindung.
"Pulau misalnya yang luas lahannya 100 hektare (ha) dikuasai 100 persen itu tidak benar. Maksimal 70 persen penguasannya, dan harus ada ruang tebuka hijau untuk publik atau konservasi," ujarnya.
Pentingnya pengalokasian lahan hijau dalam pengelolaan pulau, menurut Sofyan, bisa dilihat dari pengalaman Indonesia di Pulau Nipah yang lokasinya tak jauh dari Singapura. Ia mengungkapkan, pengerukan pasir yang digunakan untuk reklamasi dan pembangunan di Singapura membuat keberadaan Pulau Nipah menjadi terancam. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia mereklamasi kembali pulau tersebut demi menyelamatkan garis pantai Pulau Nipah.
"Kalau pulau di perbatasan hilang, maka batas laut kita dengan negara lain akan terganggu. Jadi ini pentingnya ada area publik dan kawasan lindung di setiap pulau," jelasnya.
Lebih jauh kata Sofyan, penjualan pulau-pulau yang marak di situs online bukanlah penjualan yang sesungguhnya. Kepemilikan tetap oleh negara.
"Bukan pulaunya yang dijual, pulau itu tetap milik publik, tapi tanahnya bisa dikelola. Bisa izin Hak Guna Bangunan 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, izin hak pakai. Yang penting diatur penataannya, sehingga bukan seolah-olah milik mereka," ujar Sofyan.