EKBIS.CO, JAKARTA -- Keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Trans-Pacific Partnership atau perjanjian dagang Trans-Pasifik diyakini tak akan luas. Alasannya, ekonomi Indonesia masih mengandalkan ekonomi dalam negeri yakni konsumsi masyarakat dan investasi, sehingga dampak dari kebijakan luar negeri AS terhadap perekonomian Indonesia diharapkan marginal.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, keluarnya AS dari TPP sebetulnya mengindikasikan potensi Indonesia untuk memperluas daerah tujuan ekspor menjadi ikut hilang. Namun demikian, menurutnya, masih banyak potensi yang dapat digali melalui hubungan perdagangan bilateral antara Indonesia dan AS. Apalagi AS merupakan mitra dagang utama dengan nilai ekspor sebesar 14,5 miliar dolar AS atau 11,1 persen dari total ekspor pada November 2016 lalu. Angka ini menjadikan AS mitra dagang terbesar kedua setelah Cina.
Selain itu, neraca perdagangan dengan AS juga tercatat surplus 7,85 miliar dolar AS pada November 2016. "Dengan kebijakan yang inward looking atau proteksionisme dari pemerintah AS, justru Indonesia dapat menggali potensi-potensi yang dapat dikembangan dalam perjanjian perdagangan bilateral antara Indonesia-AS," ujar Josua dalam keterangan persnya, Selasa (24/1).
Meski begitu, Josua melihat ada potensi tantangan dari pembatasan produk Cina masuk ke AS khususnya untuk barang-barang dengan bahan baku yang Indonesia ekspor ke Cina. Selain itu, ada potensi juga penurunan volume perdagangan internasional yang mengindikasikan masih lambatnya pemulihan ekonomi global.
"Mengacu pada kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih potensial tercapai di kisaran 5,1-5,2 persen pada tahun ini," katanya.
Baca juga: Australia Tawari Indonesia dan Cina Gabung TPP