EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Energi dan SUmber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan tantangan mengembangkan energi baru terbarukan di tanah air yakni faktor ketimpangan ekonomi. Ia menuturkan bagaimana biaya investasi di sektor EBT lebih mahal dibanding energi fosil.
Porsi pengembangan EBT dalam bauran energi nasional sekitar 23 persen pada 2025. Jonan menerangkan jika target tersebut diperbesar, maka berdampak pada kenaikan biaya produksi listrik.
Ia mengatakan, hal tersebut memengaruhi tarif listrik yang ditetapkan PLN. Kondisi itu pun berdampak ke daya beli masyarakat. "Kemampuan daya beli yang berbeda jadi satu tantangan besar," katanya dalam diskusi di Hotel Luwangsa, Jakarta, Kamis (2/3).
Jonan menyebut rata-rata produk domestik bruto Indonesia 3800 dollar AS per tahun. Angka ini tidak mencerminkan pendapatan orang per orang. "Saudara-saudara kita yang spend di bawah 2 dolar AS per hari, ada 100 juta orang. Keterjangkauan jadi satu pertimbangan yang sangat besar," ujar mantan Menteri Perhubungan ini.
Kementerian ESDM baru saja menerbitkan Permen Nomor 12 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan tenaga listrik. Aturan ini menetapkan patokan harga maksimum listrik dari tenaga matahari, angin,air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Untuk tenaga matahari, angin, air, biomassa, dan biogas, harga listriknya 85 persen dari biaya pokok produksi di daerah tempat pembangkit EBT tersebut beroperasi. Jonan menegaskan peraturan ini guna menekan harga listrik. Namun jika belum ditemukan opsi listrik murah dari sektor EBT, maka masih ada energi fosil yang selama ini dipakai.
"Apakah bauran energi yang diutamakan? Ada 2.500 desa yang penting ada lampu dulu. Kalau kabel listrik lewat depan rumahnya, terus dia nggak mampu beli, saya kira rasa keadilannya bagaimana? Ini persoalan," ujarnya.