EKBIS.CO, SURAKARTA -- Penguatan ekonomi perempuan pedesaan dalam perspektif pembangunan perlu dilakukan, Hal ini tidak lepas dari upaya dalam pemberdayaan perempuan yang selama ini menjadi konsen dari pemerintah.
Maka dari itu pembangunan infrastruktur ekonomi pedesaan sebagai basis kekuatan penguatan ekonomi perempuan perlu dibangun seperti lembaga keuangan mikro (LKM) semi formal. Sehingga ada ruang dalan mengakses kemudahan secara financial bagi mereka dalam pemberdayaan dan kewirausahaan. Demikian pernyataan Mukhaer Pakkanna Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan - Jakarta dan sekaligus Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam sidang ujian terbuka promosi doktor di program doktor ilmu ekonomi pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) hari ini (3/2).
Dalam ujian terbuka promosi doktor dengan tema disertasi penguatan ekonomi perempuan pedesaan melalui LKM semi formal, Mukhaer memaparkan dalam pemberdayaan perempuan selalu dikaitkan dengan 3 (tiga) aspek, yakni enabling (pemberian ruang/kesempatan), empowering (penguatan potensi), dan advocation (pemihakan). Dalam penelitiannya yang dilakukannya selama ini dalam studi tentang Koperasi Wanita (Kopwan) di Kabupaten Tangerang, Banten, menemukan bukti bahwa pemberdayaan bisa bekerja dengan efektif.
Terutama jika lembaga LKM terutama LKM semi-formal seperti koperasi memiliki visi, misi, target, capaian, mekanisme organisasi, pemberlakukan SOP (Standar Operating Procedure), reward and punishment, dan kapasitas institusi yang mampu menjangkau ke masyarakat paling miskin di setiap perdesaan.
Demikian pula, dengan dukungan sumber daya manusia (pengelola, staf, dan petugas lapang) yang handal, terlatih, dan kompeten, sejatinya harus digerakkan secara simultan. "Dengan demikian, LKM tersebut bisa mewujudkan fungsinya sesuai amanat UU No 1 Tahun 2013 tentang LKM,"ucap dia.
Dalam kajian ini, Mukhaer melakukan penelitian, pada tiga LKM di kabupaten Tangerang dengan 3 kategori wilayah desa, yakni pesisir/nelayan, desa sekitar kawasan industri/perumahan, dan desa pertanian. Dalam kajian penelitian terlihat bahwa setiap wilayah memiliki kelebihan, keunikan, dan kekurangan.
Bahkan dalam menggunakan analisis statistik uji beda dua mean dengan uji-t, ternyata ditemukan proses pemberdayaan tidak memiliki perbedaan signifikan. Kemudian keterkaitan dengan kemampuan LKM semi formal dalam meningkatkan kesejahteraan para anggota di wilayah, Mukhaer menyampaikan, perlunya melihat indikator pinjaman/pembiayaan, tingkat pendapatan, dan tingkat pengeluaran.
Dengan menggunakan uji chi square, indikator pinjaman terbesar berada di wilayah pesisir/nelayan menyusul wilayah sekitar kawasan industri/perumahan, dan wilayah pertanian. Pada indikator pendapatan dan pengeluaran yang terbesar adalah wilayah industri dan perumahan menyusul wilayah pertanian. Selain itu, dalam mengukur kaitan indikator kemandirian keuangan LKM terhadap peningkatan kesejahteraan anggota, dengan menggunakan uji statistik asosiatif, ternyata tidak signifikan.
Artinya, LKM semi formal ini lebih banyak bergerak pada pendekatan institusionalis diibandingkan pendekatan welfarist. Dengan kata lain, LKM semi formal hanya mampu memosisikan anggota LKM agar tidak jatuh kepada tingkat kemiskinan yang lebih parah.
Dalam penelitian tersebut, ternyata tergambar LKM memiliki kekhasan sosiologis berupa norma dan budaya. Selain itu juga faktor eksternal seperti geografis, demografi dan alam juga berpengaruh. Karakter ibu rumah tangga di wilayah pesisir/nelayan misalnya, kehidupannya banyak diliputi oleh ketidakpastian kondisi alam dan sering tidak bersahabat tentu membentuk karakter yang membedakan dengan wilayah lainnya. "Karakter lebih agresif, spekulatif, konsisten, disiplin, dan lebih tahan banting menjadi karakter khas bagi warga pesisir/nelayan," terang Mukhaer.
Dalam penelitian ini menemukan bukti, kemandirian keuangan LKM semi formal tidak otomatis mampu meningkatkan kesejahteraan anggota jika tingkat pinjaman, pendapatan dan pengeluaran anggota sangat kecil. Dengan demikian secara teoritik, diperlukan peningkatan penguatan ekonomi anggota dengan semangat kewirausahaan.
"Dengan denikian, secara teoritik pengembangan LKM semi formal ke depan perlu mempertimbangkan kedua aspek secara simultan apalagi ada bukti bahwa perempuan anggota LKM semi formal ke depan perlu mempertimbangkan kedua aspek secara simultan apalagi ada bukti bahwa perempuan anggota LKM semi formal memiliki kekhasan dan modal sosial," terangnya.
Sementara Ketua Induk Baitul Tanwil Muhammadiyah (BTM) Achmad Suud menyambut positif apa yang disampaikan Mukhaer Pakkanna dalam disertasinya, dia mengatakan bahwa pemberdayaan harus diawali dengan pemihakan, tanpa pemihakan bukan pemberdayaan. Maka dari itu, perlu sebuah good will dan political will dari pemerintah dalam membuat kebijakan kebijakan untuk mendorong pemberdayaan.
Problemnya pemberdayaan berbasis ekonomi wong cilik masih bersifat setengah hati sehingga konsepsi dan program pemberdayaan belum mampu menyentuh akar persoalan. "Untuk itu political action pemerintah perlu dilakukan untuk menjawab problem pemberdayaan selama ini,"ucapnya.