EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira meminta pemerintah Indonesia lebih tegas dalam membuka keran impor terutama dari Cina. Ia menjelaskan keran impor yang terbuka terlalu lebar dapat mematikan produsen lokal. Di samping itu, perkembangan hilirisasi dalam negeri juga akan melambat.
Bhima juga mengingatkan pemerintah untuk mengubah orientasi kerja sama Indonesia dengan Cina yang selama ini cenderung timpang. Ia mengatakan pemerintah masalah utama perdagangan Indonesia dengan Cina adalah ketidakseimbangan rantai pasok.
Menurut Bhima, sebagian besar produk ekspor Indonesia ke Cina adalah produk mentah seperti batu bara, CPO, dan karet. Sementara Cina kemudian mengekspor bahan jadi yang nilai tambahnya lebih besar ke Indonesia.
"Kita tidak dapat manfaat dari perdagangan model itu. Indonesia hanya dijadikan pasar," kata Bhima.
Bhima memberi contoh, pemerintah bisa saja meminta kepada Cina untuk membuka pabrik di dalam negeri apabila ingin mengekspor produknya ke Indonesia. Tak hanya itu, ia meminta komitmen pemerintah untuk menerapkan kewajiban industri nasional untuk menyerap 30 persen serapan produk lokal.
Pemerintah diminta lebih banyak memberikan insentif kepada produsen lokal agar bisa bersaing dengan produk Cina. Bukan sebaliknya, di mana insetif untuk impor justru diperbanyak.
"Misalnya Cina kalau mau jualan produk, harus buat pabrik di Indonesia," ujarnya.
Bhima melanjutkan, contoh risiko ketergantungan impor Indonesia dari Cina adalah komoditas bawang putih. Catatan INDEF, 85 persen bawang putih di Indonesia diimpor dari Cina dan India. Kasus yang sempat terjadi sebelumnya, harga bawang putih di pasar dalam negeri melonjak di atas 45 persen hanya dalam satu bulan. Alasannya, waktu tanam bawang putih di Cina tidak bisa menyamai momen bulan puasa dan Lebaran, momen saat permintaan bawang putih di Indonesia meninggi.
"Itu baru impor bahan pangan. Belum impor elektronik atau tekstil. Jangan lupa, tekstil cukup tergempur oleh produk Cina," ujar dia.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan, pemerintah memiliki upaya sendiri untuk melindungai petani bawang putih lokal dari gempuran produk impor dari Cina. Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa pasokan bawang putih digelontorkan hingga 480 ribu ton pertahunnya. Namun, ia menjamin meski pemerintah berupaya menekan harga bawang yang sempat melangit di pasaran, pemerintah tetap menjaga harga jual di tingkat petani.
"Kita berikan penugasan ke (Perum) Bulog untuk membeli dengan harga Rp 15 ribu (per kilogram)," katanya.
Tren neraca perdagangan Indonesia terus menunjukkan surplus hingga Mei 2017, namun angkanya terus menipis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai surplus perdagangan Mei 2017 sebesar 470 juta dolar AS, menurun dibanding surplus bulan sebelumnya sebesar 1,33 miliar dolar AS. Sementara nilai impor Indonesia pada bulan yang sama tercatat sebesar 13,82 miliar dolar AS, naik 15,67 persen dibanding April 2017.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah menyebutkan, realisasi impor Indonesia sejak awal 2017 hingga saat ini tercatat sebesar 52,32 miliar dolar AS, atau naik 11,39 persen dari realisasi tahun lalu sebesar 46,97 miliar dolar AS. Impor barang konsumsi naik 11,78 persen, dari 5,05 miliar dolar AS menjadi 5,64 miliar dolar AS.
Sementara itu, impor bahan baku/bahan penolong sepanjang Januari-Mei 2017 tercatat sebesar 47,24 miliar dolar AS, naik 17,63 persen dari 40,16 miliar dolar AS tahun lalu. Sedangkan, impor barang modal tercatat sebesar 9,48 miliar dolar AS, naik 9,13 persen dari 8,69 miliar dolar AS tahun lalu.
Dilihat dari negara asal impor, Cina masih menduduki peringkat pertama dengan nilai 13,67 miliar dolar AS atau 26,12 persen dari seluruh impor Indonesia. "Lebih dari seperempat barang yang masuk berasal dari Cina," ujar Sairi akhir pekan ini.
Jepang menduduki posisi kedua sebagai negara asal impor terbesar dengan nilai 5,82 miliar dolar AS atau 11,12 persen dari seluruh impor Indonesia. Posisi ketiga diamankan oleh Thailand dengan nilai impor 3,77 miliar dolar AS atau 7,21 persen.
"Ketergantungan industri terhadap bahan baku dari luar masih sangat tinggi. Pasokan bahan baku untuk industri kita cukup tinggi, namun di lain pihak kita perlu cermati angka ini karena negara yang menjadi sumber impor kita terbatas dan 25 persen impor dari Cina. Alhasil, kalau ada gejolak di negara asal Impor maka kita akan terpengaruh," ujar Sairi.