EKBIS.CO, Oleh: Umar Juoro
Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga kebijakannya yang dikenal sebagai 7 hari reverse repo rate dari 4,75% menjadi 4,5%. Pertimbangannya adalah bahwa harga-harga yang direfleksikan dalam angka inflasi cukup terjaga di sekitar 4%. Nilai rupiah juga stabil di kisaran Rp 13,300 per dollarnya, dan defisit neraca perdagangan di sekitar 2% PDB yang dianggap aman. Pertimbangan penting lainnya adalah pertumbuhan kredit perbankan masih relatif rendah di angka sekitar 8,6%, sedangkan pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito tumbuh lebih dari 10%. Dengan kata lain perusahaan dan rumah tangga (yang berpendapatan menengah dan tinggi) cenderung tidak berbelanja sebagaimana mestinya. Karena itu penurunan suku bunga kebijakan diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan kredit baik untuk investasi, modal kerja maupun konsumsi.
Harapannya adalah suku bunga deposito dan pinjaman akan menurun. Perusahaan akan meminta kredit lebih besar dan individu membelanjakan tabungannya serta meminta kredit untuk konsumi, pembelian rumah, kendaraan bermotor dan produk retail. Namun dalam praktiknya membutuhkan waktu dan belum tentu terjadi sebagaimana yang diharapkan.
Perbankan sendiri sebenarnya juga tidak begitu berminat untuk mengalokasikan kredit yang lebih besar. Bank masih belum sepenuhnya menyelesaikan restrukturisasi kredit macet peninggalan tahun 2014 dan 2015 ketika harga komoditas menurun yang berpengaruh buruk pada kualitas kredit bank. Hanya bank BUMN yang pertumbuhan kreditnya tinggi terutama untuk menbiayai pembangunan infrastruktur yang juga dilakukan oleh BUMN.
Bank besar dengan biaya dana (cost of fund) yang rendah cenderung mengambilalih nasabah yang baik dari bank lain dengan memberikan bunga yang lebih rendah. Bank lainnya tidak dapat menyaingi karena strukur biaya dana yang lebih mahal. Jika bank lain berusaha memberikan bunga yang kompetitif maka bukan saja marjinnya menurun, tetapi juga bisa mengalami kerugian.
BI sendiri mengakui bahwa pengaruh penurunan suku kebijakan pada pertumbuhan kredit dan kemudian menggerakkan ekonomi riil baru akan terasa pada 2018. Karena itu BI menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit pada angka 8-10%. Permasalahannya sebenarnya bukan suku bunga yang tinggi dan harus diturunkan, tetapi lebih karena kurangnya permintaan (yang berkualitas) terhadap kredit perbankan. Bahkan perusahaan yang baik reputasinya melakukan pembayaran kredit lebih awal, atau kreditnya diambil alih oleh bank lain dengan suku bunga yang lebih rendah.
Individu juga belum berminat meningkatkan permintaan kreditnya untuk konsumsi, seperti KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Tampaknya baik perusahaan maupun individu masih melihat ketidakpastian ekonomi ke depannya. Padahal dari survei ekspektasi konsumen terus menigkat dan pada tingkatan optimis. Tampaknya hasil survei tidak sesuai dengan tindakan konsumen itu sendiri.
Pertimbangan mendekatnya Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019 juga dijadikan alasan kurang bergairahnya kegiatan ekonomi. Padahal semestinya kegiatan konsumsi meningkat menjelang hajatan politik dengan pengeluaran yang lebih besar berkaitan dengan kampanye politik.
Semestinya stimulus fiskal akan lebih efektif dalam mendorong kegiatan ekonomi riil. Namun alih-alih stimulasi fiskal, yang dilakukan pemerintah adalah justru mengejar target penerimaan pajak yang menekan pengeluaran perusahaan dan rumah tangga. Mereka juga khawatir harus membayar pajak yag lebih besar dan semakin menjadi sasaran objek pajak jika melakukan belanja yang lebih besar. Karena itu mereka cenderung menabung dananya di bank. Sekalipun aparat pajak mempunyai akses terhadap akun di bank, tetapi tetap harus melalui OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan yang dilaporkan adalah akun dengan nilai di atas Rp 1 miliar saja.
Pada saat ekonomi mengalami pelemahan dan menghadapi ketidakpastian ke depan, UKM membutuhkan stimulasi bukan menambah kekhawatiran sebagi objek pajak. Keringanan pajak dan penurunan bunga pinjaman untuk modal kerja akan sangat membantu UKM untuk bertahan dalam perkembangan ekonomi yang melambat.
Masyarakat berpendapatan rendah yang konsumsinya menunjukkan penurunan membutuhkan dukungan melalui transfer dana tunai langsung atau yang bersyarat. Keadaan mereka akan lebih buruk jika inflasi meningkat lagi. Jangan sampai penurunan suku bunga menyebabkan inflasi meningkat lagi yang akan semakin menekan golongan bawah dan hanya menguntungkan mereka yang berpendapatan tinggi.
Usaha mikro yang kecenderungannya memperlihatkan pelemahan membutuhkan dukungan. Hanya sedikit bank yang dapat berhasil dalam menyalurkan kredit untuk usaha mikro karena sulit dalam pengelolaannya. Karena itu bank yang tadinya masuk ke usaha mikro banyak yang menarik diri atau membekukan program kredit usaha mikronya. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan usaha mikro. Karena itu KUR (Kredit Usaha Rakyat) semestinya semakin diarahkan pada mendukung usaha mikro. Penurunan bunga pinjaman tentunya diharapkan juga mendukung revitalisasi dari usaha mikro.