EKBIS.CO, JAKARTA -- Belanja iklan antara toko fisik offline dengan online saat ini berbeda jauh. Jika toko offline menjual produk dari kumpulan hasil distribusi di mana iklan brand toko sangat terbatas untuk wilayah dan waktu tertentu. Sedangkan online gencar memasarkan merek sendiri untuk memajukan institusinya.
VP Operation Sigi Kaca Parawira, Ridho Marpaung membeberkan data yang dikumpulkan dua tahun yang dengan konsisten melakukan pendataan khususnya untuk ritel online. Untuk belanja iklan di televisi, ritel online per Januari - September 2017 sebesar Rp 1,25 triliun. Penurunan year on year (yoy) dari Januari - September 2016 sebesar 15 persen.
"Departement store, belanja iklannya (Matahari, Ramayana, Metro) per Januari - September 2017 sebesar Rp 40,41 miliar. Menurun (yoy) per Januari - September 2016 sebesar 50 persen yang mencapai Rp 80 miliar," kata Ridho pada Sabtu (28/10).
Melihat fenomena ini, Wakil ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan pada dasarnya perilaku konsumen akan mengarah kepada keefisienan yaitu belanja online, tanpa ada belanja iklan-pun, online mampu menjual karena konsumen membutuhkannya..
"Offline mengiklankan untuk orang belanjanya. Online mengiklankan untuk institusi," ujar Tutum di Jakarta baru-baru ini.
Namun menurutnya, tidak semua produk dapat di online-kan. Beredar secara massive seakan akan online membunuh ritel. "Ada produk-produk yang langsung dibutuhkan untuk kebutuhan sehari hari. Orang mau belanja mi instan, kecap, apa melalui online dulu? bisa kelaparan," ujarnya.
Kemajuan digital dengan banyak tumbuhnya pemain online merupakan suatu kemajuan yang patut dibanggakan. Namun kesemuanya ini harus dipahami oleh regulator. Sewajarnya ada perlakuan sama antara offline dan online, semisal dengan diberlakukannya pajak untuk online.
"Kebijakan apapun yang ada diperhitungkan apa manfaat buat masyarakat," ujar Tutum. Aturan offline, Tutum menjelaskan, sudah ada. Seperti tidak kurang dari 50 izin untuk mendirikan satu toko. Membayar pajak, membayar sewa, membayar karywan, dan mengikuti seluruh aturan izin barang beredar, setiap hari harus dipatuhi oleh toko ritel fisik.
Aprindo sendiri memiliki pengelompokan perdagangan utnuk toko-toko ritel. Semisal kewajiban mini market yang luasnya maksimum 400 meter, di atas 5.000 untuk hypermarket, kesemua dikategorikan menurut aturan yang ada. Produk yang dijual 80 persen harus dalam negeri. "Kita ada aturan dan patuhi se-abrek-abrek perizinan dan ada aturan mainnya. Kami memaksimalkan aturan itu untuk dipatuhi," ujarnya.
Peritel juga memiliki aturan lain seperti; tidak boleh menjual satu produk-produk kebutuhan sehari-hari di bawah harga pasar tradisonal atau pasar rakyat. Seperti beras, gula, telor, dan sebagainya.
Oleh karena itu dengan munculnya online di zaman digitalisasi ini, Tutum berharap pemerintah ikut serta mengikuti kemajuan dan harus ada keberanian untuk menetapkan regulasi yang berkeadilan. Dalam penerapan pajak untuk online market saran Tutum salah satunya misalkan siapapun yang ingin memosting (melalui sosial media atau platform belanja online), ia harus memiliki alamat jelas dan Nilai Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang didaftarkan kepada pemerintah.