Rabu 15 Nov 2017 16:44 WIB

50 Persen DPK Bank Nasional Diusulkan Berbasis Bagi Hasil

Red: Irwan Kelana
Ahmad Riawan Amin (foto atas) dan suasana diskusi ekonomi syariah yang digelar FPKB DPR di Jakarta, Jumat (3/11).
Foto: Agung Sasongko/Republika
Ahmad Riawan Amin (foto atas) dan suasana diskusi ekonomi syariah yang digelar FPKB DPR di Jakarta, Jumat (3/11).

EKBIS.CO, JAKARTA – Usia perbankan syariah di Indonesia sudah lebih 25 tahun. Namun hingga saat ini pangsa pasar perbankan syariah masih berkutat di angka sekitar lima persen. Jauh di bawah market share perbankan syariah Malaysia yang berkisar di angka sekitar 25 persen.

Kalau perbankan syariah nasional disuruh berlari mengejar perbankan konvensional, tanpa adanya perlakuan tertentu, sulit bagi bank syariah untuk membesarkan pangsa pasarnya. Sebab, ketika bank syariah nasional berlari, bank  konvensional juga berlari. Bagaimana mungkin bank syariah yang masih relatif muda atau bayi, mengejar bank konvensional yang sudah sangat besar dengan segala infrastrukturnya yang sudah sangat lengkap dan besar?

Untuk itu, sejumlah pengamat ekonomi syariah menyatakan perlu perlakuan khusus bagi perbankan syariah nasional agar bisa mengejar pangsa pasar perbankan konvensional. Namun ada cara lain, kata pakar perbankan syariah Dr A Riawan Amin MSc, yakni  menerapkan nilai-nilai syariah (sharia values) ke dalam perbankan konvensional.

Bagaimana caranya? “Sebanyak 50 persen dana pihak ketiga (DPK)  perbankan konvensional dikonversi dari berbasis bunga menjadi berbasis bagi hasil,” kata Riawan Amin kepada Republika.co.id, Selasa (14/11).

Menurut mantan Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) itu, kalau 50 persen DPK perbankan konvensional berbasis bagi hasil, maka hasilnya akan luar biasa. “Pangsa pasar perbankan syariah akan  langsung melonjak bukannya menjadi 10 atau 20 persen, tapi akan langsung menembus 50 persen,” ujarnya.

Selain itu, tidak terjadi perang bunga.  Tidak terjadi negative spread (tingkat suku bunga pinjaman yang lebih rendah daripada tingkat suku bunga simpanan, Red). “Nasabah akan loyal, sebab tidak ada perang bunga,” tuturnya.

Mantan dirut Bank Muamalat selama dua priode  (1999-2009 ) itu menyebutkan, saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, satu-satunya bank yang selamat dan tidak perlu mendapatkan suntikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)  adalah Bank Muamalat. Sedangkan bank-bank konvensional ketika itu bangkrut dan  harus disuntik oleh pemerintah dalam bentuk dana talangan BLBI total mencapai Rp 144,5 triliun dan diberikan kepada 48 bank konvensional.

Mengapa Bank Muamalat ketika itu bisa bertahan?  “Sebab, dengan sistem bagi hasil,  BMI tidak mengalami negative spread  sedangkan bank-bank konvensional mengalami negative spread,” tuturnya.

Kedua, nasabah BMI loyal. Di tempat lain,  bunga 30 persen, sedangkan di BMI bagi hasil ekivalen 6 persen. “Namun nasabah masih loyal, karena mereka mencari berkah,” paparnya.

Berdasarkan pengalaman BMI saat krisis keuangan 1998 dan keunggulan nilai-nilai syariah dalam sistem keuangan Islam, Riawan mengusulkan 50 persen DPK berbasis bagi hasil.

 

“Yang harus kita lakukan adalah mengambil nilai syariah yang unggul dan menerapkannya pada  sistem keuangan yang besar. Artinya, kita harus mensyariahkan  atau menjadikan halal sistem perbankan nasional,” tegas Riawan yang juga mantan direktur utama BJB Syariah.

Menurut data OJK, per Agustus 2017, jumlah DPK perbankan nasional mencapai Rp 5.052,553 triliun.  Kalau 50 persen saja yang dijadikan berbasis bagi hasil, maka jumlahnya sekitar Rp 2.500 triliun lebih.

Riawan menegaskan, menjadikan 50 persen DPK perbankan nasional berbasis bagi hasil tidak sulit. “Islamic values itu mudah diterapkan. Apalagi sekarang ini ada Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS)  yang dipimpin langsung oleh Presiden. Presiden hanya perlu berkoordinasi dengan berbagai departemen merumuskan formulasinya, membangun sistem perbankan nasional yang tidak lagi memakai DPK berbuga, tapi DPK berbagi hasil,” tutur Riawan Amin.

Riawan mengapresiasi Fraksi PKB DPR RI yang menggelar diskusi publik bertema “Prospek Indonesia Sebagai Pusat Keuangan Syariah Global" di Jakarta, Jumat (3/11) lalu. Diskusi yang dbuka Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar itu menampilkan nara sumber Ketua Dewan Komisiomner OJK Wimboh Santoso, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asorun Ni’am Sholeh, dan Direktur Eksekutif CORE Hendri Saparini.

“Dalam diskusi tersebut saya mengusulkan  agar DPR terutama  FPKB DPR RI memperjuangkan agar jangan hanya fokus pada bank syariah tapi juga bank konvensional. Saya menyarankan  agar diberlakukan bagi hasil,  bukan bunga bank untuk simpanan deposito. Setidaknya 50 persen DPK bank konvensional dijadikan berbasis bagi hasil, melalui perubahan ketentuan UU tentang Perbankan," kata Riawan.

Ia menambahkan, “Kita tidak boleh terpaku pada yang lima persen (pangsa pasar bank syariah),  tapi pada yang 95 persen (pangsa pasar bank konvensional). Jika deposito dan tabungan (DPK) perbankan konvensional  Indonesia berbasis bagi hasil,  maka  Indonesia akan lebih siap menyongsong krisis ekonomi dunia yang pasti segera datang.”

Riawan juga menggarisbawahi poin dari Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo tentang perlunya koordinasi interdep (bisa melalui KNKS) untuk membuat terobosan dan mass campaign.

“Menurut saya, tidak ada campaign yang lebih dahsyat daripada DPK perbankan konvensional  Indonesia yang berbasis bagi hasil,” tutur Riawan Amin.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement