EKBIS.CO, JAKARTA -- Harapan untuk melindungi PRT di Indonesia muncul lewat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Pekerja Domestik (RUU PPRT/PD). Rancangan undang-undang itu telah diajukan pada 2004. Namun, hingga kini hampir 14 tahun kemudian, RUU PPRT/PD masih dalam rancangan.
Tahun ini, DPR hampir tidak menyentuh RUU PPRT. Pembahasan rancangan undang-undang tersebut tidak dianggap dalam skala prioritas dan masuk daftar tunggu Program Legislasi Nasional atau Prolegnas. "Ada revisi UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang menjadi prioritas, plus revisi UU Ketenagakerjaan menjadi prioritas karena 'babonnya' (induk) dari seluruh permasalahan (ketenagakerjaan) di revisi UU (nomor) Nomor 13 (Tahun 2013) ini," kata Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf.
Dede menilai lebih prioritas membahas RUU Ketenagakerjaan dibandingkan RUU PPRT yang bersifat sektoral. "Kalau membuat UU baru sektoral sementara UU 'babonnya' direvisi, belum tentu sama hasilnya dengan revisi UU (Nomor 13), jadi memang ada skala prioritas," ujarnya.
Skala prioritas DPR untuk RUU PPRT selalu berbeda selama 13 tahun sejak rancangan undang-undang itu diusulkan. Rancangan undang-undang itu sudah masuk dalam Prolegnas selama periode 2004-2009. Akan tetapi, rancangannya baru masuk prioritas Prolegnas pada 2010.
Prioritas Prolegnas pun tidak menjadi jaminan RUU PPRT langsung dibahas oleh DPR hingga masuk ke tahun berikutnya. Langkah awal pembahasan baru dilakukan pada 2011 saat Komisi IX DPR membentuk panitia kerja (Panja) RUU PPRT. Selain itu, Sekretariat Jenderal DPR juga menyusun naskah akademis dan draf rancangan undang-undangnya.
Pembahasan kemudian dilakukan pada 2012 hingga tiga kali. Bahkan, tim panja DPR melakukan kunjungan kerja untuk studi banding RUU PPRT ke Afrika Selatan dan Argentina pada 27-31 Agustus 2012. Setelah kembali ke Tanah Air, mereka melakukan uji publik rancangan undang-undang itu di Makassar dan Malang pada 2013. Draf RUU PPRT selanjutnya masuk finalisasi dan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk harmonisasi.
Pergantian pemerintahan pada 2014 membuat RUU PPRT tidak tersentuh sama sekali hingga 2015. Kemunduran justru terjadi pada 2015 karena Komisi IX dan Baleg menghapus RUU PPRT dari prioritas Prolegnas dan menggantinya dengan Revisi UU PPHI. Tahun berikutnya, pembahasan RUU PPRT semakin berat setelah adanya pembatasan jumlah rancangan undang-undang yang dibahas lewat sistem kuota.
Dengan batasan 40 RUU, baik lanjutan maupun baru, Komisi IX hanya bisa membahas satu hingga dua rancangan undang-undang baru. Pembahasan RUU PPRT pada 2016 tidak masuk prioritas Prolegnas. Komisi IX DPR sibuk membahas RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN).
Prioritas untuk RUU PPILN juga membuat RUU PPRT tidak dibahas pada 2017. Hingga RUU PPILN disahkan menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada 25 Oktober 2016, RUU PPRT tidak tersentuh.
Perjalanan panjang tersebut tidak lantas membuat RUU PPRT mendapat kesempatan segera dibahas. Dede Yusuf mengatakan, Komisi IX masih merasa perlu mengkaji kembali RUU PPRT. Kajian RUU PPRT yang telah dilaksanakan oleh DPR periode sebelumnya dianggap tidak bisa digunakan lagi. "Setiap RUU yang nggak jalan, maka di periode berikutnya itu didrop, harus diganti lagi, baru lagi," kata dia. Dengan demikian, uji publik terhadap poin-poin draf RUU PPRT dinilai Dede harus dilakukan lagi.
Salah satu poin yang dinilai perlu dilakukan uji publik kembali, yakni pemberian gaji layak. "Kalau UU ini malah membuat orang tidak berani mengambil PRT karena gaji harus sesuai UMR, lapangan pekerjaan itu akan hilang," kata Dede. Ada perbedaan pandangan dalam poin gaji ini yang diajukan DPR dan Jala PRT. DPR ingin standar upah tidak diatur sehingga sesuai dengan perjanjian kerja. Sementara Jala PRT, upah minimum diatur sesuai tingkatan wilayah kota dengan masa transisi.
Dede menilai pemerintah harus mempertimbangkan titik temu dalam poin yang diperdebatkan dalam RUU PPRT tersebut. "Pemerintah kan pelaksananya. Mereka sebagai pelaksana, harus mempersiapkan," kata dia. Untuk mempercepat pembahasan, Dede pun akan menunggu konsep yang ditawarkan oleh pemerintah.
Pembahasan RUU PPRT oleh pemerintah diakui Kepala Bagian Pengkajian Hukum dan Konvensi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenakera) Umar Kasim, telah sering dilakukan secara parsial. Namun, sejumlah persoalan menjadikan pembahasan RUU PPRT belum menemui kesepakatan. Salah satu hal yang dipersoalkan tersebut adalah hubungan hukum PRT dengan majikan.
Selama ini, relasi kerja antara PRT dan majikan mengedepankan hubungan kekeluargaan. "Kalau yang murni bekerja di sebuah keluarga...apalagi dia hanya sebagai tukang cuci, tukang masaknya, kan bukan aspek hubungan industrial, itu sarat dengan kekeluargaan," kata dia. Dengan hubungan kekeluargaan itu, PRT dianggap tidak masuk dalam dalam definisi pekerja yang bisa menuntut hak ketenagakerjaan lewat lembaga hukum formal seperti pengadilan.
Hubungan kekeluargaan PRT dan majikan dinilai bisa menjadi pemicu masalah saat dihubungkan dengan hukum nasional. Jika ada tuntutan hak pekerja yang tidak terpenuhi, Umar menilai, penyelesaian masalahnya akan lebih berat jika masuk ke ranah hukum. "Ada hukum bicara pada tataran (masalah) yang memang berat ya, tapi kalau (hubungan) sosial lebih tinggi, lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan," ujarnya.
Dengan hubungan kekeluargaan itu, Umar menilai, perlindungan PRT cukup diatur lewat peraturan pemerintah daerah (perda). Hal ini agar sesuai dengan karakteristik sosial setiap daerah. Kehadiran perda itu dianggap cukup untuk menggantikan aturan hukum undang-undang yang kekuatan hukumnya lebih kuat. "Mungkin perlu ada cantolan (undang-undang), atau toh tidak perlu ada RUU PRT saya kira pun bisa jadi, artinya lokal Jakarta bikin aturan sendiri, lokal Jawa Timur bikin sendiri," kata dia. Umar menilai, tidak pas menyamaratakan standar pekerja PRT dari Sabang sampai Merauke lewat RUU PPRT.
Pembuatan Perda itu pun cukup merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Mungkin hanya cantolan umum untuk didelegasikan kepada local goverment untuk mem-perda-kan, mem-pergub-kan," ujarnya. Produk hukum untuk perlindungan PRT ini diakui Umar masih dalam diskusi panjang.
Produk hukum lain untuk perlindungan PRT berupa Konvensi ILO 189 tentang kerja layak PRT juga belum dianggap cukup prioritas untuk segera diratifikasi. Skala prioritas ratifikasi Konvensi ILO 189 masih di bawah Konvensi ILO 177 tentang Kerja Rumahan dan Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan. Umar menilai desakan untuk ratifikasi Konvensi ILO 177 dan 188 lebih kuat dibandingkan untuk konvensi ILO 189.
Ratifikasi tersebut juga menunggu kemauan politik DPR. "Pemerintah hanya satu pihak dari dua pihak yang harus meratifikasi, artinya DPR terutama. Tapi, DPR disibukkan dengan UU lain," kata Umar. Selain itu, internal pemerintah juga diakui Umar masih dalam perdebatan untuk ratifikasi Konvensi ILO 189. "Kan kita sama-sama dengan Kemenlu (Kementerian Luar Negeri), Kemenaker, Kementerian (Pemberdayaan) Perempuan dan (Perlindungan) Anak, Kemensos, nah ini belum satu bahasa kayaknya," kata dia.
Pembahasan payung hukum untuk PRT diakui Lita Anggraini selalu jadi perdebatan. "Tidak ada iktikad politik dari DPR ataupun pemerintah," kata dia. Padahal, proses ratifikasi konvensi ILO dinilai Lita bisa lebih cepat dibandingkan pembahasan undang-undang karena tidak membutuhkan naskah akademis. Dengan demikian, mau sampai kapan PRT bekerja tanpa perlindungan?
Simak Laporan Lengkap tentang Pekerja Rumah Tangga:
Laporan 1. Menawar Diskon Biaya Hidup dari PRT
Laporan 2. PRT Bukan Pembantu
Laporan 3. Menunggu RUU Perlindungan PRT