Rabu 20 Dec 2017 13:23 WIB

Penguatan E-Commerce akan Lemahkan Ritel

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Aneka macam produk makanan dan minuman ditawarkan kepada pembeli di ritel swasta (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Aneka macam produk makanan dan minuman ditawarkan kepada pembeli di ritel swasta (Ilustrasi)

EKBIS.CO, BANDUNG -- Hasil survei terbaru Lembaga Riset Telematika Sharing Vision menunjukkan, penurunan daya beli masyarakat bukanlah penyebab bergugurannya ritel di Indonesia. Menurut Chief Sharing Vision, Dimitri Mahayana, pelemahan ritel, khususnya yang bergerak di sektor fesyen, disebabkan adanya pergeseran gaya hidup, dari belanja konvensional menuju digital.

Dia memprediksi, tahun depan jumlah ritel fesyen yang berguguran di Indonesia akan semakin banyak seiring dengan semakin tingginya penetrasi e-commerce. "Ekonomi dan daya beli masyarakat tidak turun, tapi (cara belanjanya) bergeser ke online," ujar Dimitri di acara Bandung Year End Conference di The Trans Luxury Hotel Bandung, kemarin.

Dimitri menjelaskan, hal tersebut terkonfirmasi dari hasil survey terbaru Sharing Vision pada Oktober-November tahun ini terhadap 808 responden yang pernah berbelanja online. Survei tersebut, dilakukan di sejumlah kota besarm

Hasil survei tersebut, kata dia, pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional ke digital (online) bervariasi untuk setiap kategori produk, mulai dari 3 persen sampai 60 persen. Untuk tiket pesawat, kereta api, dan sarana transportasi lain, bahkan pergeserannya sudah mencapai 80 persen sampai 90 persen.

Kemudian, kata dia, disusul pergeseran transaksi pulsa dan token prabayar ke online sebesar 60 persen, makanan dan minuman 33 persen, buku, hobi, dan koleksi 32 persen, kosmetik dan alat kecantikan 24 persen, handphone 16 persen, laptop 12 persen, alat elektronik 5 persen serta groceries 3 persen. Sementara untuk produk fesyen dan mode, pergeserannya sebesar 22 persen.

Hasil survei tersebut, kata dia, menunjukkan juga kalau nominal transaksi per kategori yang mereka lakukan dalam tiga bulan terakhir di toko online dan yang biasa mereka habiskan sebelumnya di toko offline mirip. "Berarti ada transaksi yang hilang di toko offline. Tidak heran jika tutuplah beberapa toko fisik," katanya.

Dimitri memprediksi, ke depan tren pergeseran tersebut akan semakin besar. Dengan kondisi tersebut, tahun depan iklim usaha konvensional yang tidak mengadopsi online akan semakim berat. Ritel di sektor fesyen dipastikan akan semakin banyak yang tutup, mengingat saat ini pergeseran transaksinya sudah mencapai 22 persen.

"Khusus untuk supermarket dan minimarket, masih akan bertahan. Itu karena tren pergeseran transaksi groceries masih rendah, baru 3 persen," katanya.

Dimitri mengakui, nominal transaksi e-commerce di Indonesia memang masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan ritel konvensional. Jumlah netizen yang sudah berbelanja online pun baru mencapai 10 juta orang dari sekitar 120 juta pengguna internet di Indonesia. Namun, menurut Dimitri, pertumbuhannya sangat pesat. Pertumbuhan e-commerce di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan rata-rata global.

"Saat ini kontribusi e-commerce terhadap seluruh sektor perdagangan baru mencapai 2 persen sampai 3 persen. Tahun depan akan naik menjadi 5 persen," katanya.

Potensi e-commerce di Indonesia, kata dia, tumbuh 39,6 persen per tahun. Tahun ini transaksinya diprediksi mencapai Rp 561,8 triliun dan diperkirakan akan menyentuh Rp 1.500 triliun pada 2020.

Tingginya potensi pertumbuhan e-commerce, menurut dia, karena hingga saat ini Gojek sebagai salah motor penggerak akselerasi belanja online, belum masuk ke sejumlah kota besar di Indonesia. Ia yakin, jika Gojek sudah masuk, pertumbuhan e-commerce di Indonesia akan semakin meroket.

Namun, Dimitri pun memastikan, boomingnya tren belanja online tidak akan mematikan bisnis konvensional. Kedua sektor bisnis tersebut akan saling melengkapi dan akan mencapai kesetimbangan dengan prediksi kontribusi masing-masing mencapai 50 persen. "Itu juga masih butuh waktu," katanya.

Dimitri menyontohkan, untuk fesyen e-commerce fesyen memerlukan waktu sekitar tiga sampai lima tahun lagi untuk mencapai kontribusi 50 persen. Selain karena penetrasi internet yang belum merata ke seluruh wilayah Indonesia, sebagian masyarakat juga masih sulit melepaskan kebiasaan belanja konvensional.

Dimitri menilai, kondisi ini jangan dilihat dari sisi negatif. Namun, boomingnya online justru harus dilihat sebagai peluang oleh seluruh pelaku ekonomi, baik UMKM maupun pelaku usaha besar. "Ke depan, mau tidak mau, suka tidak suka, semua sektor usaha harus go online, mengikuti tren era ekonomi digital," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement